Rabu, 30 November 2016

Reinventing Pendidikan



Melihat praktik pendidikan dewasa ini, rasanya menemukan kembali konsep penyelenggaraan pendidikan yang mampu menyiapkan generasi emas pada zamannya merupakan keharusan. Inilah reinventing masa depan pendidikan untuk menjawab fakta kondisi terkini. 

Diakui, banyak perubahan yang telah dilakukan negara dalam pendidikan, namun masih ditemukan pula sisi-sisi lain yang perlu pembenahan dan penyempurnaan. Paradigma Kurikulum 2013 cukup positif, namun penguatan sekolah dalam penerapannya masih terus perlu ditingkatkan. 

Memang, setiap perubahan pendidikan memerlukan proses, sehingga membutuhkan desainer handal sekaligus change maker(s). Tantangannya, tak semua orang bisa diajak berubah. Seringkali perubahan dipandang sebagai ancaman, bukan peluang. Terutama bagi kelompok the establishment yaitu kelompok mapan yang sudah cukup lama menikmati kondisi dan keadaan sekarang.

Standar Pendidikan Harus Sesuai Kearifan Lokal

 Mantan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan, Fasli Jalal menanggapi wacana moratorium ujian nasional (UN). Menurutnya, evalusi pada pelajar harus sesuai dengan kearifan masing-masing daerah.

"Karena itu, kita harus punya standar, tapi cara mengimplementasikan standar itu harus memperhatikan kondisi-kondisi lokal," kata Fasli di Jakarta, Rabu (30/11).

Ia mengingatkan, pemerintah harus mengingat tujuan dari pendidikan di Indonesia, yakni selain membuka akses, tetapi juga memastiklan mutu. Fasli mengatakan, setiap pelajar di Indonesia tidak memiliki mutu pendidikan yang sama. Sebab, mutu pendidikan akan berkaitan dengan relevansi kehidupan sehari-hari, daya saing anak dalam bermasyarakat.

Ia mencontohkan, mutu pendidikan pelajar di Jakarta akan berbeda dengan anak di Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Ia menyebut, anak-anak Ruteng akan bangga dengan berbagai ilmu pengetahuan yang bertujuan memaksimalkan potensi daerahnya. Sementara pelajar di Jakarta, akan bangga dengan berbagai paparan globalisasi dan teknologi.

"Jadi dalam konteks itu, kita harus melihat dua sisi. Perlu standar nasional, tapi juga kita bicara mutu yang lebih relevan dengan kearifan lokal," ujar Fasli.

Ia menyarankan, pemerintah harus memastikan setiap pelajar yang lulus, tidak hanya paham tentang akademik. Namun, juga tentang pencaiaan kreatifitas, cara berfikir, dan berinovasi menyelesaikan permasalahan.

Disinggung terkait peran guru dalam evalusi ujian pengganti UN, Fasli menyebut, mereka merupakan sosok yang paling mengerti kemampuan dan kecerdasan anak didiknya. Sebab, ia mengingatkan, sangat banyak anak yang lebih kompeten di luar bidang kognitif.

"Sepanjang anaknya berprogres menjadi lebih baik dari sebelumnya, itulah tujuan pendididkan," jelas dia.

Ia mengatakan, kendati desentralisasi ujian, tetapi harus ada standar nasional yang harus dicapai setiap pelajar di Indonesia. Tujuannya, agar para pelajar mampu bersaing secara lokal, nasional dan internasional.

"Tentu ada standar minimal di jenjang tertentu yang harus dicapai. Sehingga standar nanti harus memenuhi tiga hal itu, lokal, nasional, dan internasional," ujar dia.

sumber: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/16/11/30/ohgd07335-fasli-jalal-standar-pendidikan-harus-sesuai-kearifan-lokal
30 November 2016, 18:24 WIB

Kualitas Guru Persoalan Utama Pendidikan Nasional

Kualitas guru dinilai jadi persoalan utama pendidikan nasional. Sementara moratorium UN hanyalah sebagian kecil dari evaluasi pendidikan di Indonesia.

Peneliti IndonesiaBermutu, HE Afrizal Sinaro mengatakan, belum semua guru di sekolah mengajar sesuai dengan kompetensi dan mutu yang baik. Oleh karena itu, peningkatan kualitas guru harus menjadi prioritas perbaikan pendidikan, baik pemerintahan pusat apalagi di daerah.

"Persoalan moratorium UN hanya bagian kecil dalam manajemen sistem evaluasi dan penilaian pendidikan," kata Afrizal melalui pesan aplikasi daring kepada Republika, Rabu (30/11). Dalam hal ini, pemerintah perlu merangkul pihak swasta yang peduli terhadap peningkatan mutu guru untuk merancang berbagai bentuk kegiatan pelatihan, pembinaan, dan pengembangan kompetensi guru. 

Dalam kesempatan terpisah di Kongres XVII Muslimat NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, akhir pekan lalu, mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Direktur Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R. Ella Yulaelawati Rumindasari menjelaskan, untuk guru--terutama guru PAUD--Kemendikbud berharap mereka mempunyai kompetensi belajar berbasis bermain.

Dari 600 ribu guru PAUD, kata dia, baru 30 persennya yang sudah lulus S1. Itu pun tidak semuanya sarjana pendidikan PAUD. "Karena itu, kami rencanakan 250 ribu guru lulusan SMA akan dibuatkan program melalui diklat berjenjang dan ada pula kursus," kata Elly.

Kursus ini akan dibuat sesuai kompetensi kerja nasional Indonesia (KKNI) peringkat tiga atau setara D2. Setelah itu, para guru bisa mengajukan beasiswa.

Tangkal Radikalisme di Sekolah, Perlu Sertifikasi Guru Agama

Jakarta - Lembaga pendidikan ditengarai menjadi tempat penyebaran paham radikalisme dan ekstremisme. Salah satu penyebabnya karena faktor tenaga pengajar. Untuk itu, perlu sertifikasi guru agama, terutama mensyaratkan tidak pernah terlilbat kegiatan atau aktivitas radikal dan komitmen setia pada Pancasila dan NKRI.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Abdul Malik Haramain. Menurut wakil rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi solusi. Pertama, pemerintah harus memantau materi pendidikan agama baik, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga tinggi. Visinya sudah jelas, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. “Pemantauan dilakukan sampai ke materi pendidikan,” katanya.
Kedua, mengawasi guru dan siapapun yang setiap saat berdekatan dengan anak didik. “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kemristek Dikti, serta kementerian lain yang terkait, harus duduk bersama menyamakan visi bagaimana cara mengontrolnya, dan memastikan mereka yang berinteraksi dengan anak didik tidak membawa paham yang bertentangan,” jelasnya.

filsafat kesehatan masyarakat

Pengertian filsafat menurut Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu. Menurut Sidi Gazalba : Berfilsafat adalah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.
Menurut Winslow, ilmu kesehatan masyarakat yaitu ilmu dan seni mencegahpenyakit, memperpanjang hidup, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, dan efisiensi melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk meningkatkan sanitasi lingkungan, kontrol infeksi di masyarakat, pendidikan individu tentang kebersihan perorangan, pengorganisasian pelayanan medis dan perawatan, untuk diagnosa dini, pencegahan penyakit dan pengembangan aspek sosial yang akan mendukung agar setiap orang di masyarakat mempunyai standar kehidupan yang kuat untuk menjaga kesehatannya.
Nah, berdasarkan pengertian tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa kegunaan filsafat dalam ilmu kesehatan masyarakat adalah sebagai suatu tindakan yang dilakukan untuk mencari, meninjau, mengamati dan menyelidiki setiap masalah ataupun kejadian yang terjadi di masyarakat yang termasuk dalam ruang lingkup kesehatan masyarakat. Masalah tersebut diselidiki secara sistematis dengan lebih dalam untuk mendapatkan kebenaran, solusi ataupun pencegahannya. Selain itu, dengan berfilsafat kita (khususnya sarjana kesehatan masyarakat) juga berpikir dengan lebih logis dan radikal sehingga setiap ide dan tindakan yang diperbuat dapat lebih terarah dan bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
 Contoh misalnya dalam ruang lingkup kesehatan masyarakat yaitu kesehatan lingkungan. Jika suatu daerah memiliki lingkungan yang udaranya tercemar maka kita akan menyelidiki apa penyebab udara di daerah tersebut tercemar, akibat yang ditimbulkannya, dampak baik secara langsung maupun tidak langsung serta solusi atau tindakan yang dilakukan untuk meminimalisir pencemaran udara dan bahkan menghilangkannya. Semua hal tersebut dapat dilakukan dengan berfilsafat.


http://nurhudabiover.blogspot.co.id/2014/03/kegunaan-filsafat-dalam-ilmu-kesehatan.html

Pengaruh Filsafat Terhadap Kehidupan Manusia


Bagi manusia, berfilsafat berarti mengatur hidup yang senetral-netralnya dengan perasaan tanggung jawab, yaitu tanggung jawab terhadap dasar hidup yang sedalam-dalamnya, baik Tuhan, alam, atau pun kebenaran. Radhakrishnan dalam bukunya, History of Philosophy, menyebutkan Tugas filsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan ‘nation’, ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan.
Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya. Studi filsafat harus membantu orang-orang untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang, asal kepercayaan tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah yang usang, yang sempit dan yang dogmatis. Urusan (concerns) utama agama ialah harmoni, pengaturan, ikatan, pengabdian, perdamaian, kejujuran, pembebasan, dan Tuhan.
Dengan berfilsafat manusia dapat mengatasi kemelut hidupnya. Hal tersebut dapat terjadi karena dengan memahami apa filsafat, maka kita dapat menerapkannya didalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak mengarah kepada jalur yang tidak pernah diharapkan sebelumnya.
Beragam masalah di Indonesia tidak akan bisa selesai dengan pendekatan-pendekatan teknis, seperti pendekatan ekonomi teknis, pendekatan politik teknis, pendekatan teknologi teknis, ataupun pendekatan budaya teknis. Beragam masalah tersebut bisa selesai dengan sendirinya, jika setiap orang Indonesia mau berfilsafat, yakni apapun profesi mereka, mereka akan menggunakan filsafat sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Filsafat timbul karena kodrat manusia. Manusia mengerti bahwa hidupnya tergantung dari pengetahuannya. Pengetahuan itu digunakan untuk menyempurnakan kehidupannya.  Karena konsekuensi dari pandangan filsafat sangat penting dan menentukan sikap orang terhadap dirinya sendiri, terhadap orang lain, dunia, dan tuhannya. Tingkah laku manusia berlainan sekali dengan tingkah laku hewan, manusia adalah merdeka,ia dapat mengerti, menciptakan kebudayaan, ilmu pengetahuan. Filsafat berhubungan erat dengan sikap orang dan pandangan  hidup manusia, karena filsafat mempersoalkan dan menanyakan sebab – sebab yang terakhir dari semua yang ada. Apabila filsafat dijadikan suatu ajaran hidup maka ini berarti bahwa orang mengharapkan dari filsafat itu dasar – dasar ilmiah yang dibutuhkannya untuk hidup. Filsafat diharapkan memberikan petunjuk – petunjuk tentang bagaimana kita harus hidup untuk menjadi manusia sempurna, baik, susila dan bahagia.

filsafat kesehatan

Dimensi-dimensi dari Kesehatan
Saya ingin membedah dimensi ini satu per satu. Yang pertama adalah dimensi fisik. Orang perlu makan makanan bergizi, berolah raga, dan cukup beristirahat, jika ia ingin mendapatkan kesehatan fisik. Namun, kesehatan fisik hanyalah bagian kecil dari kesehatan manusia. Ia memerlukan dimensi lainnya.

Yang kedua adalah dimensi sosial. Orang perlu untuk berdamai dengan musuhnya dan saingannya, sehingga ia bisa memperoleh rasa damai. Orang boleh bersaing dan bahkan berkonflik dengan orang lain. Namun, ini harus diatur, sehingga semua tegangan dan konflik berujung pada perubahan yang baik bagi semua pihak, dan bukan justru menghancurkan semuanya. Kesehatan di bidang sosial ini amat erat terkait dengan kesehatan mental. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang damai, dan jiwa yang damai berarti mampu berdamai dengan orang lain di sekitarnya.

Yang ketiga adalah dimensi teologis. Orang perlu untuk berbicara dan mendengar Tuhannya. Bagi orang-orang religius, ini tentu sudah jelas. Orang perlu berdoa, baik secara pribadi di kamar maupun bersama-sama di dalam komunitas. Bagi orang-orang Ateis yang tidak percaya Tuhan, mereka bisa memahami Tuhan sebagai alam, atau sebagai energi yang menciptakan dan menggerakan seluruh alam semesta. Bentuk hubungannya tentu berbeda, namun hakekatnya tetap sama, yakni kesadaran akan “sesuatu yang lebih” dari manusia.

Yang keempat adalah dimensi historis. Orang perlu berdamai dengan masa lalunya. Tentu, kita semua pernah mengalami hal-hal yang menyedihkan dan menyakitkan di masa lalu. Semua itu bukan untuk dilupakan, tetapi untuk diterima sebagai bagian dari perjalanan hidup yang tak selalu mudah. Dari penerimaan lahir rasa damai, dan ini merupakan bagian yang amat penting dari kesehatan. Masa lalu juga berarti orang-orang yang kita sayangi, namun telah meninggal. Kita perlu mengingat dan berdamai dengan mereka di dalam hati kita, supaya kita bisa menemukan kedamaian.

Jadi, ada empat dimensi dari kesehatan yang harus diperhatikan, yakni dimensi fisik, dimensi sosial, dimensi teologis dan dimensi historis. Berbicara kesehatan berarti berbicara keempat dimensi tersebut. Jika salah satu dimensi saja yang kuat, sementara yang lain lemah, maka orang itu tidaklah sehat. Keempat dimensi itu harus dilihat sebagai satu paket yang tak bisa dipisahkan.

Menjaga Jarak
Pertanyaan yang lebih sulit adalah, bagaimana kita bisa mencapai keselarasan di antara empat dimensi tersebut? Bagaimana kita bisa sehat secara fisik, sosial, teologis maupun historis? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Namun, jawaban yang paling mendekati kebenaran adalah jawaban dari Anthony de Mello SJ di dalam bukunya yang berjudul Awareness. Ia mencoba menggali kebijaksanaan dari berbagai peradaban di dunia, walaupun ia kuat mengakar di dalam tradisi Kristiani dan Buddhisme.

Langkah pertama adalah dengan menyadari perasaan-perasaan di dalam diri kita. Ketika kita sakit atau mengalami musibah, kita tentu sedih. Ketika kita mendapat hadiah atau berkat lainnya, kita tentu senang. Kita perlu untuk menyadari semua perasaan-perasaan yang muncul ini di dalam hati kita.

Kita tidak boleh menolak perasaan ini. Kita harus menerima dan merasakannya. Namun, disini letak langkah pentingnya, kita tidak boleh menyamakan diri kita seutuhnya dengan perasaan itu. Kita harus melihat perasaan itu sebagai sesuatu yang berbeda dari diri kita. Kita harus mengamati perasaan itu sebagai suatu gerakan emosi yang tidak sama dengan jati diri kita yang asli.

Misalnya, kita merasa sedih. Kita tidak boleh menyamakan seluruh jati diri kita dengan perasaan sedih itu. Sebaliknya, kita perlu merasakan sekaligus menjaga jarak dari rasa sedih itu. Kita perlu mengamati rasa sedih di dalam batin kita dengan jarak. Jarak ini nantinya akan menghasilkan kesadaran, bahwa kesedihan itu tidaklah asli, melainkan sesuatu yang dengan mudah datang dan pergi, seperti angin saja, sehingga ia bukanlah sesuatu yang penting.

Kata kunci disini adalah mengamati. Kita perlu mengamati gerak emosi di dalam batin kita, selayaknya orang ketiga. Jadi, ketika kita sedih, kita tidak boleh bilang, bahwa saya sedih, melainkan ada sesuatu yang sedih. Kita amati, maka akan muncul jarak, dan kesedihan, ataupun emosi lainnya, akan hancur dengan seketika. Kita pun akan menemukan kedamaian yang sesungguhnya.

Inilah inti dari kesadaran diri. Inilah inti dari mistisisme yang dicontohkan oleh berbagai orang besar dalam sejarah, mulai dari Sokrates, Yesus, sampai dengan Martin Luther King. Intinya, kita tidak boleh menyamakan jati diri kita dengan emosi maupun perasaan kita! Kita harus menjadi pengamat yang berjarak atas perasaan-perasaan kita sendiri.

Kesehatan sebagai Pencerahan

Dua hal berperan amat penting disini. Yang pertama adalah komunitas. Manusia adalah mahluk sosial, maka ia memerlukan orang lain dan komunitas, juga untuk mencapai kesehatan. Peran komunitas amatlah penting untuk mendukung, terutama ketika orang sedang berada dalam penderitaan. Orang yang telah sadar, yakni orang yang telah berhasil menjaga jarak dari emosi maupun perasaannya, lalu akan berperan semakin aktif di dalam komunitas, supaya bisa membantu orang-orang lainnya.
Yang kedua adalah kesehatan fisik. Orang tidak mungkin menjadi sadar, jika ia kurang gizi. Orang tidak mungkin menjadi sadar, jika ia kurang tidur. Maka, kesehatan fisik (keselarasan fisik) tetaplah penting untuk diperhatikan, walaupun ini hanya satu bagian saja dari kesehatan manusia.
Ketika orang hidup dalam harmoni di dalam empat bidang yang sudah saya jelaskan di atas, maka ia akan sampai pada Pencerahan. Para filsuf dan mistikus ingin mencapai kebijaksanaan dengan mencapai pencerahan batin. Inilah inti pencerahan batin tersebut, yakni harmoni empat dimensi. Jadi, kesehatan tidak hanya terkait dengan kebahagiaan, tetapi juga pencerahan.

Oleh Reza A.A Wattimena

https://rumahfilsafat.com/2014/06/20/filsafat-tentang-kesehatan/

HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN MANUSIA

Minggu, 18 Juli 2010



Manusia dan Filsafat

Karenamanusia itu memiliki akal pikiran yang senantiasa bergolak dan berpikir, dan karena situasi dan kondisi alam di mana dia hidup selalu berubah-rubah dan penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bahkan dahsyat, yang kadang-kadang dia tidak kuasa untuk menantang dan menolaknya, menyebabkan manusia itu tertegun, termenung, memikirkan segala hal yang terjadi di sekitar dirinya.

Dipandangnya tanah tempat dia berpijak, dilihatnya bahwa segala sesuatu tumbuh di atasnya, berkembang, berbuah, dan melimpah ruah. Segala peristiwa berlaku di atas permukaannya. Dan didalam siang dan malamnya dia menyaksikan kebaikan dan keburukan, kebaktian dan kejahatan, sehat dan sakit, suka dan duka, malang dan senang, hidup dan mati, dan sebagainya, yang meliputi dan melingkupi kehidupan manusia. Hal-hal seperti itulah yang menakjubkan manusia, menyebabkan dia termenung, merenungkan segala sesuatu. Dia berpikir dan berpikir, sepanjang masa dan sepanjang zaman. Dia memikirkan dirinya sebagai mikro-kosmos dan memikirkan jagat raya sebagai makro-kosmos. Dia memikirkan juga alam ghaib, alam di balik dunia yang nyata ini, alam metafisika. Dan diapun mulai membangun pemikiran filsafat.

Allah perlu dihayati kehadirannya


Schleiermacher adalah penganut Kant, namun baginya Allah lebih baik tidak ditelusuri dengan metafisika belaka, namun perlu dihayati kehadirannya, yaitu dengan kontemplasi. Baginya, Allah yang tidak bisa ditangkap inderawi tidak bisa juga dilacak dengan rasio murni. Istilah yang dipakai oleh Schleiermacher untuk Allah adalah "Sang Universum". 
Jika Kant mengenal Allah sebagai pemberi hukum moral yang melampaui rasionya, Schleiermacher menganggap Allah yang dimaksud Kant tidak memadai dalam kehidupan manusia, sebab Allah hanya pemberi ganjaran kepada orang yang baik dan penghukum orang yang kurang baik. Sebab Allah, bagi Schleiermacher tidak mungkin memberi hukuman kekal kepada manusia lantaran ia tidak sempurna, hal ini dikarenakan bahwa manusia diciptakan Allah bukan agar ia sempurna, melainkan agar ia berikhtiar mencapai kesempurnaan itu.

Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat



Penelaahan tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi. Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise. Jadi pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat. Namun pendapat ini ditolak oleh para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman. Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat manusia, filsafat alam dll). Maka para filsuf mendefinisikannya sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara refleksif, realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melalui sekitar diri kita.
Studi tentang Allah dan Kepercayaan 

Hubungan Filsafat dengan Kebudayaan


Perlu disadari bahwa manusia sebagai pribadi, masyarakat, bangsa dan negara hidup dalam suatu sosial budaya. Maka membutuhkan pewarisan dan pengambangan sosial budaya yang dilakukan melalui pendidikan. Agar pendidikan berjalan dengan baik. Maka membutuhkan filosofis dan ilmiah berbagai sifat normatif dan pedoman pelaksanaannya. Karena pendidikan harus secara fungsamental yang berazas filosofis yang menjamin tujuan untuk meningkatkan perkembangan sosial budaya, marbtabat bangsawa, kewibawaan dan kejayaan negara.

Pentingnya kebudayaan untuk mengembangkan suatu pendidikan dalam budaya nasional mengupayakan, melestarikan dan mengembangkan nilai budaya-budaya dan pranata sosial dalam menunjang proses pengembangan danpembangunan nasional serta melestarikan nilai-nilai luruh budaya bangsa. Merencanakan kegairahan masyarakat untuk menumbuhkan kreaktivtas ke arah pembaharuan dalam usaha pendidikan yang tanpa kepribadian bangsa.

Tuhan dalam Bayangan Sifat Wujud


Zat Tuhan masih menjadi misteri yang belum dapat ditemukan secara pasti. Berbagai ajaran agama, khususnya Islam, menjelaskan eksistensi Tuhan hanya dapat dicerna dalam bentuk sifat wujud Tuhan. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat.

Tuhan mengetahui melalui perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri yaitu zat atau esensi Tuhan. Golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat. Sifat-sifat itu tidak sama dengan esensi Tuhan tapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Nabi Muhammad melarang orang-orang beriman untuk memikirkan Tuhan. Ia bersabda: berpikirlah ciptaan Tuhan dan janganlah berfikir tentang Zat Tuhan. Dari segi Diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena Zat itu bukanlah lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun.

Hakekat Tuhan


Memperbincangkan hakekat Tuhan di antara berbagai para filosof, agamawan, dan saintis telah memunculkan berbagai argument teolri spekulatif adanya Tuhan.

 Dalam kajian ini mendekati pemahaman eksistensi Tuhan ditinjau dari kajian ontologis, kosmologis, dan teologis. Ontologis mewakili pandangan para filosof, kosmologis mewakili teori alam dan teologis mewakili pandangan agama.

a.Argument ontologis

 Pandangan ini menganggap bahwa tiap-tiap yang ada pada alam nyata ini muncul karena ada alam ide.

Hakekat Tuhan


Memperbincangkan hakekat Tuhan di antara berbagai para filosof, agamawan, dan saintis telah memunculkan berbagai argument teolri spekulatif adanya Tuhan.

 Dalam kajian ini mendekati pemahaman eksistensi Tuhan ditinjau dari kajian ontologis, kosmologis, dan teologis. Ontologis mewakili pandangan para filosof, kosmologis mewakili teori alam dan teologis mewakili pandangan agama.

a.Argument ontologis

 Pandangan ini menganggap bahwa tiap-tiap yang ada pada alam nyata ini muncul karena ada alam ide.

Tuhan dalam Islam Al-Qur’an



 sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam, menjelaskan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan. Kehadiran Tuhan merupakan fitrah manusia sebagai kebutuhan hidup. Menurut Yusuf Musa dalam Al-Qur’an wa al-Falsafah, keyakinan kaum Muslim kepada Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan maha-maha lainnya merupakan akidah Islamiyah tentang ketuhanan.
Akidah ini menjelaskan bahwa Allah adalah pencipta yang tidak memiliki awal dan akhir. Allah adalah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Alam ini adalah ciptaan-Nya, yang diciptakan dari tidak ada. Selanjutnya dijelaskan oleh Musa bahwa akidah Islamiyah ini apabila dilihat dari sudut filsafat akan menemukan adanya dua wujud, yaitu wujud abadi dan wujud zamani.

TUHAN (T), ALAM (A), DAN MANUSIA (M) DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN



Tema sentral dari filsafat pendidikan adalah pemahaman hubungan antara Tuhan (T), Manusia (M), dan Alam (A). startnya adalah Tuhan dan berakhir pula untuk atau pada Tuhan. Manusia merupakan actor penerima atau pengelola ciptaan Tuhan, sedangkan alam sebagai sarana manusisa berbuat untuk menuju kembali pada Tuhan. Ketiganya memuat hubungan yang sinergis, masing-masing ketiga actor tersebut memiliki peran yang saling kait mengait antara yang menguntungkan atau merugikan.

Selasa, 29 November 2016

Pengamat: Salah Buat Kebijakan Pendidikan, Generasi Bisa Hancur


Senin, 28 November 2016 16:39

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Syahroni
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID,PONTIANAK - Pengamat Pendidikan Kalbar, Dr Aswandi menyatakan perlu kajian lebih mendalam terhadap kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI melakukan memoratorium penyelenggaraan ujian nasional (UN).
Akan tetapi, untuk penerapan penghapusan Unas ini menurut Aswandi tetap harus bertahap.
Tidak bisa langsung bombasitis diberlakukan ke semua sekolah  yang ada dan semua jenjang pendidikan.

Donasi pelanggan retail membantu memperbaiki dan mendampingi 14 sekolah dasar (SD)

Jakarta - Donasi pelanggan retail Hypermart dan grup PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), telah berhasil membantu memperbaiki dan mendampingi 14 sekolah dasar (SD) di berbagai wilayah di Indonesia. Donasi tersebut merupakan hasil dari program infak via kasir yang digelar pada Ramadhan 2014-2015 bekerjasama dengan Dompet Dhuafa dan terkumpul sebesar Rp 2.356.755.436.
Director of Public Relations and Communications MPPA, Danny Konjongian, mengatakan, kerjasama dengan Dompet Dhuafa dalam program Infak via kasir telah berlangsung sejak 11 tahun lalu.

Mahathir Global Peace School (MGPS) ke-5



Program Mahathir Global Peace School (MGPS) ke-5 tahun ini yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) diikuti  36 peserta dari sebelas negara. Mereka berupaya membangun framework tentang perdamaian melalui dialog bersama.
Kesebelas negara antara lain Uzbekistan, Filipina, Malaysia, Yaman, Inggris, Bangladesh, Uganda, India, Polandia, Indonesia, dan Thailand. Program kerja sama UMY dengan PGPF (Perdana Global Peace Foundation), ini berlangsung selama 10 hari. 
Hazel Jovita, peserta asal negara Filipina yang saat ini tengah menempuh studi program Doktor di UMY, mengungkapkan progam MGPS 5 yang mengangkat isu perdamaian, sesuai dengan latar belakang studi ilmu politik yang ia ambil. Sedangkan di negara asalnya sendiri, isu perdamaian juga menjadi topik yang sangat umum karena beberapa konflik masih terjadi di Filipina.
"Program ini juga menarik karena para peserta berasal dari beragam negara dengan latar belakang yang juga berbeda, sehingga dalam setiap diskusi akan membuat pandangan kita semakin meluas,” kata dia, dalam siaran pers, Selasa (29/11).
Setelah MGPS 5 berakhir, Hazel berencana untuk segera menyelesaikan studi dan disertasinya, kemudian kembali ke Filipina. Di sana ia bermaksud membuat forum yang mirip dengan MGPS yang juga mengangkat perdamaian sebagai topik utama. 
Sementara itu, Imdad H Shezad, jurnalis asal Inggris yang bekerja di World Peace Ambassador, mengungkapkan program MGPS akan sangat membantu masyarakat yang ingin membangun harmoni dan toleransi. 
Menurutnya, keberagaman peserta dari berbagai negara juga dinilai sebagai salah satu poin plus dalam penyebaran nilai-nilai perdamaian ke seluruh dunia.
Selain isu perdamaian, pada tema MGPS kali ini membahas worldwide education sebagai perannya dalam menciptakan perdamaian. “Sehingga para peserta dapat saling berdialog untuk pendidikan yang lebih baik,” katanya. 

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA
Diunggah pada Selasa, 29 November 2016, 16:07 WIB


Pemerintah Harus Siapkan Alternatif Pengukur Mutu Pendidikan


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi X DPR Fikri Fakih meminta pemerintah menyiapkan alternatif lain untuk mengukur mutu pendidikan jika moratorium Ujian Nasional (UN) dilaksanakan. Sebab, UN selama ini dijadikan alat ukur mutu pendidikan oleh pemerintah.

“Kalau UN tidak dilakukan maka alat evaluasi harus tetap terpantau sehingga meyakinkan kita bahwa pendidikan kita mengalami kemajuan,” ujar Fikri saat dihubungi Republika, Senin (28/11).

Politikus Partai Keadilan Sejahteran (PKS) itu mencontohkan, pemerintah bisa mendorong sekolah untuk meningkatkan daya serap mata pelajaran. Disamping itu, pemerintah juga perlu melakukan pemantauan secara berkala ke sekolah.

Fikri mengakui selama ini UN selalu menakutkan bagi siswa. Pasalnya, dia menilai, UN dijadikan sebagai syarat kelulusan. Selain itu, UN juga menjadi tolak ukur kemampuan siswa.

“Jadi bagaimana pemerintah mengukur kemampuan tapi tidak mesti menentukan kelulusan,” kata Fikri.
Sumber:
Rep: Rahmat Fajar/ Red: Nidia Zuraya
Dok Republika
Tuesday, 29 November 2016, 05:41 WIB



Peningkatan Kualitas Guru Jadi Prioritas Perbaikan Pendidikan



Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy mengusulkan untuk memberlakukan moratorium ujian nasional (UN) pada 2017 mendatang. Wacana ini pun didukung oleh Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema.


Menurut dia, saat ini pemerintah harus memprioritaskan peningkatan kualitas guru terlebih dahulu serta membangun sistem evaluasi dan penilaian yang baik. "Prioritas harus pada peningkatan kualitas guru dan membangun sistem evaluasi dan penilaian yang baik, termasuk salah satunya moratorium UN. Moratorium UN menurut saya sudah tepat," kata Doni saat dihubungi, Selasa (29/11).


Ia menjelaskan UN hanya merupakan salah satu cara dalam memberikan penilaian pendidikan nasional. Perbaikan kualitas para guru harus diutamakan karena guru merupakan kunci dari kualitas pendidikan. Sehingga, guru mampu membuat penilaian otentik bagi para siswanya. "Yang harus jelas adalah apa tujuan ujian itu dulu, baru dipilih alat yang tepat. Sarana bisa belakangan, tapi kualitas guru harus yang pertama karena mereka kunci kualitas pendidikan. Standar pendidiknya dikuatkan dulu," jelas Doni.


Meskipun moratorium UN tepat dilakukan, kendati demikian Doni menilai harus disertai perubahan kebijakan terkait evaluasi dan penilaian pendidikan, termasuk proses penilaian siswa oleh guru, sekolah, serta proses tes seleksi ke perguruan tinggi. Sebab hasil UN pun juga berdampak pada jalur undangan masuk perguruan tinggi negeri (PTN). "Kebijakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) perlu dihapus, seleksi SBMPTN dirombak total. Tes PTN diganti dengan porsi ujian tulis, tidak ada lagi jalur undangan yang mendasarkan diri pada nilai rapor," kata dia.


Seleksi masuk perguruan tinggi yang dilakukan melalui jalur tulis akan menjadi lebih adil dan objektif bagi para siswa. Sedangkan seleksi masuk ke SD dan SMP dapat dilakukan melalui penilaian rapor. Ia juga menyarankan sekolah dapat membuat alat seleksi masuk sekolah sendiri untuk menghindari subjektifitas.


Ia mengatakan penilaian kualitas dan kemampuan siswa yang diserahkan kepada guru dan sekolah telah sesuai dengan Undang-Undang. "Jangan dipindahkan UN ke daerah karena akan semakin rusak pendidikan kita," tambah Doni.


Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mewacanakan moratorium ujian nasional (UN) pada 2017. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy mengatakan, saat ini usulan tersebut sudah diajukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).


Ia menjelaskan, Inpres akan memayungi sejumlah rancangan yang telah dirumuskan Kemdikbud. Salah satunya ihwal penetapan standar evaluasi pengganti UN, meminta daerah membentuk tim yang akan merumuskan soal ujian dan lain-lain.


Menurut Muhadjir, selama ini fungsi UN hanya sebagai pemetaan, bukan kelulusan. Sehingga, menurutnya tidak perlu dilaksanakan setiap tahun. Mendikbud ingin mengembalikan kebijakan evaluasi murid, menjadi hak dan wewenang guru, baik secara pribadi maupun kolektif. 


Kendati demikian, Muhadjir mengatakan pemerintah tetap menerapkan standar nasional kelulusan masing-masing sekolah provinsi, kabupaten, kota. Kebijakan ini juga akan disesuaikan dengan adanya peralihan kewenangan SMA/SMK pada pemerintah provinsi. 


Ia menjabarkan, berdasarkan pemetaan hasil UN, hanya 30 persen sekolah yang berada di atas standar nasional. Pemerintah, kemudian akan membenahi 70 persen sekolah yang berada di bawah standar nasional. Pembenahan sekolah akan dilakukan secara menyeluruh, termasuk kualitas guru, serta revitalisasi sekolah.

Sumber: REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA
Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Winda Destiana Putri
Tuesday, 29 November 2016, 15:47 WIB


Menyelamatkan Pendidikan Aceh



SETIAP kali membicarakan soal Aceh dalam konteks ke Indonesiaan, dalam berbagai teks dan karakter, Aceh selalu saja ingin menjadi daerah yang memiliki ciri kekhususan, khas. Pokoknya berbeda dengan daerah lain, namun tidak suka dan tidak mau dibeda-bedakan. Tidak ingin mendapat perlakukan diskriminasi dari pemerintah pusat dalam berbagai hal. Buktinya, Aceh pasca kemerdekaan Indonesia mendapat status “Daerah Istimewa Aceh”, lalu bertambah lagi menjadi daerah Otonomi Khusus (Otsus), yang semuanya tampak begitu “istimewa” walau secara faktual terkadang malah “menjadi bulan-bulanan”.

Ya, itulah potret Aceh selama ini. Terkadang, status yang disandang tersebut, di satu sisi menjadi kebanggaan, namun di sisi lain menjadi persoalan, ketika berjalan tidak ideal. Aceh pernah mendapat status keistimewaan di bidang pendidikan. Dengan itu, idealnya Aceh dapat memajukan pembangunan pendidikan di Aceh. Namun sejarah membuktikan, bahwa sudah lebih setengah abad Indonesia merdeka, kondisi pendidikan Aceh dalam perspektif kualitas, masih tertinggal dibandingkan daerah lain yang tidak memiliki status istimewa itu. Padahal, Aceh mendapatkan perlakuan khusus dan status berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Aceh yang sudah menjalankan syariat Islam, kini juga ingin memiliki sistem pendidikan yang islami.

Aceh memang selalu ingin berbeda dengan daerah lain, sesuai dengan status istimewa dan otonomi khusus yang dimiliki. Sayangnya konsep pendidikan yang berbasis syariah yang dimaksud sangat absurd, ya model pendidikan tanpa bentuk yang jelas. Padahal, dengan status dan keinginan yang demikian, secara ideal dapat mendorong daerah ini memiliki system pendidikan yang lebih baik dari daerah lain, namun tak dapat dipungkiri bahwa kondisi pendidikan di Aceh yang katanya memiliki jumlah dana pendidikannya nomor dua setelah DKI Jakarta, memiliki segudang masalah dan distorsi dalam mencapai cita-cita pembangunan pendidikan di daerah ini. Masalah-masalah itu tidak terselesaikan, karena memang tidak diketahui dimana simpul masalahnya. Konon dulu, dikatakan ketua MPD Aceh bahwa Aceh memiliki konsep strategic planning terbaik di Indonesia. Namun, mengapa potret wajah pendidikan Aceh masih buram?

Prof Dr Darwis A Soelaiman menyimpulkan bahwa masalah yang dihadapi dalam membangun pendidikan kita di Aceh cukup kompleks, bak benang kusut yang tidak mudah menguraikannya (Serambi, 19/9/2016). Ya, soal pendidikan di Aceh adalah masalah yang semakin tidak jelas dan complicated. Mengapa demikian? Salah satu jawabannya adalah banyak mengalami aksi pengrusakan atau distorsi yang amat berat dalam berbagai aspek pembangunan pendidikan Aceh.
Mengalami distorsi
Secara filosofis, arah pendidikan di Indonesia dan Aceh khususnya sudah benar. Ya untuk mencerdaskan bangsa. Dengan demikian, akan terwujud cita-cita bangsa ini menjadi bangsa yang hidup sejahtera dan makmur.  Idealnya memang demikian, namun dalam tataran praktis, cita-cita mulia pendidikan itu mengalami distorsi di berbagai aras. Pertama, terkait dengan niat para pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini, baik di tingkat Nasional, maupun di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Niatnya sudah tidak lurus lagi ke arah kiblat pendidikan yang dirumuskan sejak awal. Penyebabnya, bisa karena factor politik, yang mempolitisasi pendidikan, yang mengarahkan pendidikan pada adanya politik pendidikan. Tak dapat dipungkiri bahwa selama ini lembaga-lembaga pendidikankita terus digiring oleh kepentingan politik penguasa, sesuai dengan selera penguasa. Kiblat pendidikan pun berubah sesuai dengan siapa yang sedang berkuasa.

Selain faktor politik kekuasaan, faktor kepentingan ekonomi, juga telah menyeret dunia pendidikan menjadi wilayah politik ekonomi penguasa. Pembangunan pendidikan pun tak bisa terhindar dari kepentingan proyek yang berbasis fee. Pembangunan pendidikan menjadi objek proyek (project oriented) dan mengabaikan kepentingan kualitas. Nurani bukan untuk membangun, tetapi untuk memperoleh keuntungan material.

Kedua, distori terjadi pada strategi yang digunakan/ditempuh untuk mencapai visi. Misalnya, kurikulum yang digunakan, tidak pernah menjadi sebuah kurikulum yang matang, tetapi kurikulum setengah matang. Belum selesai kurikulum A dilaksanakan, di tengah jalan, sejalan dengan perubahan struktur Menteri Pendidikan, kurikulum berubah lagi. Perubahan kurikulum secara serampangan ini, telah membuat guru yang berada di garda depan dunia pendidikan, mengalami kesulitan. Guru dan siswa terus menjadi kelinci percobaan.

Dalam konteks Aceh yang katanya ingin menjalankan model pendidikan islami, pun hingga kini tidak jelas bagaimana wujud kurikulum yang berbasis syariat atau pendidikan Aceh yang islami itu. Sehingga pendidikan Islami hanya menjadi komoditas politik para penguasa di semua level.

Ketiga, disorientasi pada proses dan tujuan pendidikan yang awalnya mencerdaskan bangsa berubah menjadi pendidikanyang berorientasi pada nilai angka. Ujian nasional yang sejatinya dapat digunakan sebagai alat ukur kualitas, menjadi bulan-bulanan dan alat yang mendorong munculnya sikap dan perilaku tidak jujur masyarakat sekolah. Tujuan orang tua mengantar anak ke sekolah, bukan untuk mencerdaskan, tetapi untuk mendapatkan angka yang bagus dan lulus.


Sumber: serambi indonesia oleh  Tabrani Yunis Selasa, 29 November 2016 09:23