Rabu, 30 November 2016
Reinventing Pendidikan
Melihat praktik pendidikan dewasa ini, rasanya menemukan kembali konsep penyelenggaraan pendidikan yang mampu menyiapkan generasi emas pada zamannya merupakan keharusan. Inilah reinventing masa depan pendidikan untuk menjawab fakta kondisi terkini.
Diakui, banyak perubahan yang telah dilakukan negara dalam pendidikan, namun masih ditemukan pula sisi-sisi lain yang perlu pembenahan dan penyempurnaan. Paradigma Kurikulum 2013 cukup positif, namun penguatan sekolah dalam penerapannya masih terus perlu ditingkatkan.
Memang, setiap perubahan pendidikan memerlukan proses, sehingga membutuhkan desainer handal sekaligus change maker(s). Tantangannya, tak semua orang bisa diajak berubah. Seringkali perubahan dipandang sebagai ancaman, bukan peluang. Terutama bagi kelompok the establishment yaitu kelompok mapan yang sudah cukup lama menikmati kondisi dan keadaan sekarang.
Standar Pendidikan Harus Sesuai Kearifan Lokal
Mantan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan, Fasli Jalal menanggapi wacana moratorium ujian nasional (UN). Menurutnya, evalusi pada pelajar harus sesuai dengan kearifan masing-masing daerah.
"Karena itu, kita harus punya standar, tapi cara mengimplementasikan standar itu harus memperhatikan kondisi-kondisi lokal," kata Fasli di Jakarta, Rabu (30/11).
Ia mengingatkan, pemerintah harus mengingat tujuan dari pendidikan di Indonesia, yakni selain membuka akses, tetapi juga memastiklan mutu. Fasli mengatakan, setiap pelajar di Indonesia tidak memiliki mutu pendidikan yang sama. Sebab, mutu pendidikan akan berkaitan dengan relevansi kehidupan sehari-hari, daya saing anak dalam bermasyarakat.
Ia mencontohkan, mutu pendidikan pelajar di Jakarta akan berbeda dengan anak di Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Ia menyebut, anak-anak Ruteng akan bangga dengan berbagai ilmu pengetahuan yang bertujuan memaksimalkan potensi daerahnya. Sementara pelajar di Jakarta, akan bangga dengan berbagai paparan globalisasi dan teknologi.
"Jadi dalam konteks itu, kita harus melihat dua sisi. Perlu standar nasional, tapi juga kita bicara mutu yang lebih relevan dengan kearifan lokal," ujar Fasli.
Ia menyarankan, pemerintah harus memastikan setiap pelajar yang lulus, tidak hanya paham tentang akademik. Namun, juga tentang pencaiaan kreatifitas, cara berfikir, dan berinovasi menyelesaikan permasalahan.
Disinggung terkait peran guru dalam evalusi ujian pengganti UN, Fasli menyebut, mereka merupakan sosok yang paling mengerti kemampuan dan kecerdasan anak didiknya. Sebab, ia mengingatkan, sangat banyak anak yang lebih kompeten di luar bidang kognitif.
"Sepanjang anaknya berprogres menjadi lebih baik dari sebelumnya, itulah tujuan pendididkan," jelas dia.
Ia mengatakan, kendati desentralisasi ujian, tetapi harus ada standar nasional yang harus dicapai setiap pelajar di Indonesia. Tujuannya, agar para pelajar mampu bersaing secara lokal, nasional dan internasional.
"Tentu ada standar minimal di jenjang tertentu yang harus dicapai. Sehingga standar nanti harus memenuhi tiga hal itu, lokal, nasional, dan internasional," ujar dia.
sumber: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/16/11/30/ohgd07335-fasli-jalal-standar-pendidikan-harus-sesuai-kearifan-lokal
30 November 2016, 18:24 WIB
"Karena itu, kita harus punya standar, tapi cara mengimplementasikan standar itu harus memperhatikan kondisi-kondisi lokal," kata Fasli di Jakarta, Rabu (30/11).
Ia mengingatkan, pemerintah harus mengingat tujuan dari pendidikan di Indonesia, yakni selain membuka akses, tetapi juga memastiklan mutu. Fasli mengatakan, setiap pelajar di Indonesia tidak memiliki mutu pendidikan yang sama. Sebab, mutu pendidikan akan berkaitan dengan relevansi kehidupan sehari-hari, daya saing anak dalam bermasyarakat.
Ia mencontohkan, mutu pendidikan pelajar di Jakarta akan berbeda dengan anak di Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Ia menyebut, anak-anak Ruteng akan bangga dengan berbagai ilmu pengetahuan yang bertujuan memaksimalkan potensi daerahnya. Sementara pelajar di Jakarta, akan bangga dengan berbagai paparan globalisasi dan teknologi.
"Jadi dalam konteks itu, kita harus melihat dua sisi. Perlu standar nasional, tapi juga kita bicara mutu yang lebih relevan dengan kearifan lokal," ujar Fasli.
Ia menyarankan, pemerintah harus memastikan setiap pelajar yang lulus, tidak hanya paham tentang akademik. Namun, juga tentang pencaiaan kreatifitas, cara berfikir, dan berinovasi menyelesaikan permasalahan.
Disinggung terkait peran guru dalam evalusi ujian pengganti UN, Fasli menyebut, mereka merupakan sosok yang paling mengerti kemampuan dan kecerdasan anak didiknya. Sebab, ia mengingatkan, sangat banyak anak yang lebih kompeten di luar bidang kognitif.
"Sepanjang anaknya berprogres menjadi lebih baik dari sebelumnya, itulah tujuan pendididkan," jelas dia.
Ia mengatakan, kendati desentralisasi ujian, tetapi harus ada standar nasional yang harus dicapai setiap pelajar di Indonesia. Tujuannya, agar para pelajar mampu bersaing secara lokal, nasional dan internasional.
"Tentu ada standar minimal di jenjang tertentu yang harus dicapai. Sehingga standar nanti harus memenuhi tiga hal itu, lokal, nasional, dan internasional," ujar dia.
sumber: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/16/11/30/ohgd07335-fasli-jalal-standar-pendidikan-harus-sesuai-kearifan-lokal
30 November 2016, 18:24 WIB
Kualitas Guru Persoalan Utama Pendidikan Nasional
Kualitas guru dinilai jadi persoalan utama pendidikan nasional. Sementara moratorium UN hanyalah sebagian kecil dari evaluasi pendidikan di Indonesia.
Peneliti IndonesiaBermutu, HE Afrizal Sinaro mengatakan, belum semua guru di sekolah mengajar sesuai dengan kompetensi dan mutu yang baik. Oleh karena itu, peningkatan kualitas guru harus menjadi prioritas perbaikan pendidikan, baik pemerintahan pusat apalagi di daerah.
"Persoalan moratorium UN hanya bagian kecil dalam manajemen sistem evaluasi dan penilaian pendidikan," kata Afrizal melalui pesan aplikasi daring kepada Republika, Rabu (30/11). Dalam hal ini, pemerintah perlu merangkul pihak swasta yang peduli terhadap peningkatan mutu guru untuk merancang berbagai bentuk kegiatan pelatihan, pembinaan, dan pengembangan kompetensi guru.
Dalam kesempatan terpisah di Kongres XVII Muslimat NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, akhir pekan lalu, mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Direktur Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R. Ella Yulaelawati Rumindasari menjelaskan, untuk guru--terutama guru PAUD--Kemendikbud berharap mereka mempunyai kompetensi belajar berbasis bermain.
Dari 600 ribu guru PAUD, kata dia, baru 30 persennya yang sudah lulus S1. Itu pun tidak semuanya sarjana pendidikan PAUD. "Karena itu, kami rencanakan 250 ribu guru lulusan SMA akan dibuatkan program melalui diklat berjenjang dan ada pula kursus," kata Elly.
Kursus ini akan dibuat sesuai kompetensi kerja nasional Indonesia (KKNI) peringkat tiga atau setara D2. Setelah itu, para guru bisa mengajukan beasiswa.
Peneliti IndonesiaBermutu, HE Afrizal Sinaro mengatakan, belum semua guru di sekolah mengajar sesuai dengan kompetensi dan mutu yang baik. Oleh karena itu, peningkatan kualitas guru harus menjadi prioritas perbaikan pendidikan, baik pemerintahan pusat apalagi di daerah.
"Persoalan moratorium UN hanya bagian kecil dalam manajemen sistem evaluasi dan penilaian pendidikan," kata Afrizal melalui pesan aplikasi daring kepada Republika, Rabu (30/11). Dalam hal ini, pemerintah perlu merangkul pihak swasta yang peduli terhadap peningkatan mutu guru untuk merancang berbagai bentuk kegiatan pelatihan, pembinaan, dan pengembangan kompetensi guru.
Dalam kesempatan terpisah di Kongres XVII Muslimat NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, akhir pekan lalu, mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Direktur Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R. Ella Yulaelawati Rumindasari menjelaskan, untuk guru--terutama guru PAUD--Kemendikbud berharap mereka mempunyai kompetensi belajar berbasis bermain.
Dari 600 ribu guru PAUD, kata dia, baru 30 persennya yang sudah lulus S1. Itu pun tidak semuanya sarjana pendidikan PAUD. "Karena itu, kami rencanakan 250 ribu guru lulusan SMA akan dibuatkan program melalui diklat berjenjang dan ada pula kursus," kata Elly.
Kursus ini akan dibuat sesuai kompetensi kerja nasional Indonesia (KKNI) peringkat tiga atau setara D2. Setelah itu, para guru bisa mengajukan beasiswa.
Tangkal Radikalisme di Sekolah, Perlu Sertifikasi Guru Agama
Jakarta - Lembaga pendidikan ditengarai menjadi tempat penyebaran paham radikalisme dan ekstremisme. Salah satu penyebabnya karena faktor tenaga pengajar. Untuk itu, perlu sertifikasi guru agama, terutama mensyaratkan tidak pernah terlilbat kegiatan atau aktivitas radikal dan komitmen setia pada Pancasila dan NKRI.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Abdul Malik Haramain. Menurut wakil rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi solusi. Pertama, pemerintah harus memantau materi pendidikan agama baik, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga tinggi. Visinya sudah jelas, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. “Pemantauan dilakukan sampai ke materi pendidikan,” katanya.
Kedua, mengawasi guru dan siapapun yang setiap saat berdekatan dengan anak didik. “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kemristek Dikti, serta kementerian lain yang terkait, harus duduk bersama menyamakan visi bagaimana cara mengontrolnya, dan memastikan mereka yang berinteraksi dengan anak didik tidak membawa paham yang bertentangan,” jelasnya.
filsafat kesehatan masyarakat
Pengertian filsafat
menurut Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban
filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian
filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah
dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu. Menurut Sidi Gazalba :
Berfilsafat adalah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang
segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan
universal.
Menurut Winslow, ilmu
kesehatan masyarakat yaitu ilmu dan seni mencegahpenyakit, memperpanjang hidup, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, dan
efisiensi melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk meningkatkan
sanitasi lingkungan, kontrol infeksi di masyarakat, pendidikan individu tentang kebersihan perorangan,
pengorganisasian pelayanan medis dan perawatan, untuk diagnosa dini, pencegahan penyakit dan pengembangan aspek sosial yang akan
mendukung agar setiap orang di masyarakat mempunyai standar kehidupan yang kuat
untuk menjaga kesehatannya.
Nah, berdasarkan pengertian
tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa kegunaan filsafat dalam ilmu
kesehatan masyarakat adalah sebagai suatu tindakan yang dilakukan untuk
mencari, meninjau, mengamati dan menyelidiki setiap masalah ataupun kejadian
yang terjadi di masyarakat yang termasuk dalam ruang lingkup kesehatan
masyarakat. Masalah tersebut diselidiki secara sistematis dengan lebih dalam
untuk mendapatkan kebenaran, solusi ataupun pencegahannya. Selain itu, dengan
berfilsafat kita (khususnya sarjana kesehatan masyarakat) juga berpikir dengan
lebih logis dan radikal sehingga setiap ide dan tindakan yang diperbuat dapat lebih
terarah dan bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Contoh misalnya dalam ruang lingkup kesehatan
masyarakat yaitu kesehatan lingkungan. Jika suatu daerah memiliki lingkungan
yang udaranya tercemar maka kita akan menyelidiki apa penyebab udara di daerah
tersebut tercemar, akibat yang ditimbulkannya, dampak baik secara langsung
maupun tidak langsung serta solusi atau tindakan yang dilakukan untuk
meminimalisir pencemaran udara dan bahkan menghilangkannya. Semua hal tersebut
dapat dilakukan dengan berfilsafat.
Sumber : Nurhuda Biover at 12:25:00
AM
http://nurhudabiover.blogspot.co.id/2014/03/kegunaan-filsafat-dalam-ilmu-kesehatan.html
Pengaruh Filsafat Terhadap Kehidupan Manusia
Bagi manusia,
berfilsafat berarti mengatur hidup yang senetral-netralnya dengan perasaan
tanggung jawab, yaitu tanggung jawab terhadap dasar hidup yang
sedalam-dalamnya, baik Tuhan, alam, atau pun kebenaran. Radhakrishnan dalam
bukunya, History of Philosophy, menyebutkan Tugas filsafat bukanlah sekadar
mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju.
Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan
arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan
kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang
menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan ‘nation’, ras, dan keyakinan
keagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan.
Filsafat tidak
ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya
maupun dalam semangatnya. Studi filsafat harus membantu orang-orang untuk
membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual.
Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang, asal kepercayaan
tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah yang usang, yang sempit dan
yang dogmatis. Urusan (concerns) utama agama ialah harmoni, pengaturan, ikatan,
pengabdian, perdamaian, kejujuran, pembebasan, dan Tuhan.
Dengan
berfilsafat manusia dapat mengatasi kemelut hidupnya. Hal tersebut dapat
terjadi karena dengan memahami apa filsafat, maka kita dapat menerapkannya
didalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak mengarah kepada jalur yang tidak
pernah diharapkan sebelumnya.
Beragam masalah
di Indonesia tidak akan bisa selesai dengan pendekatan-pendekatan teknis,
seperti pendekatan ekonomi teknis, pendekatan politik teknis, pendekatan
teknologi teknis, ataupun pendekatan budaya teknis. Beragam masalah tersebut
bisa selesai dengan sendirinya, jika setiap orang Indonesia mau berfilsafat,
yakni apapun profesi mereka, mereka akan menggunakan filsafat sebagai pedoman
hidup sehari-hari.
Filsafat timbul
karena kodrat manusia. Manusia mengerti bahwa hidupnya tergantung dari
pengetahuannya. Pengetahuan itu digunakan untuk menyempurnakan
kehidupannya. Karena konsekuensi dari
pandangan filsafat sangat penting dan menentukan sikap orang terhadap dirinya sendiri,
terhadap orang lain, dunia, dan tuhannya. Tingkah laku manusia berlainan sekali
dengan tingkah laku hewan, manusia adalah merdeka,ia dapat mengerti,
menciptakan kebudayaan, ilmu pengetahuan. Filsafat berhubungan erat dengan
sikap orang dan pandangan hidup manusia,
karena filsafat mempersoalkan dan menanyakan sebab – sebab yang terakhir dari
semua yang ada. Apabila filsafat dijadikan suatu ajaran hidup maka ini berarti
bahwa orang mengharapkan dari filsafat itu dasar – dasar ilmiah yang
dibutuhkannya untuk hidup. Filsafat diharapkan memberikan petunjuk – petunjuk
tentang bagaimana kita harus hidup untuk menjadi manusia sempurna, baik, susila
dan bahagia.
filsafat kesehatan
Dimensi-dimensi dari Kesehatan
Saya ingin membedah dimensi ini satu
per satu. Yang pertama adalah dimensi fisik. Orang perlu makan makanan bergizi,
berolah raga, dan cukup beristirahat, jika ia ingin mendapatkan kesehatan
fisik. Namun, kesehatan fisik hanyalah bagian kecil dari kesehatan manusia. Ia memerlukan
dimensi lainnya.
Yang kedua adalah dimensi sosial.
Orang perlu untuk berdamai dengan
musuhnya dan saingannya, sehingga ia bisa memperoleh rasa damai. Orang boleh
bersaing dan bahkan berkonflik dengan orang lain. Namun, ini harus diatur,
sehingga semua tegangan dan konflik berujung pada perubahan yang
baik bagi semua pihak, dan bukan justru menghancurkan semuanya. Kesehatan di
bidang sosial ini amat erat terkait dengan kesehatan mental. Jiwa yang sehat
adalah jiwa yang damai, dan jiwa yang damai berarti mampu berdamai dengan orang lain di sekitarnya.
Yang ketiga adalah dimensi teologis.
Orang perlu untuk berbicara dan mendengar Tuhannya. Bagi orang-orang religius,
ini tentu sudah jelas. Orang perlu berdoa, baik secara pribadi di kamar maupun
bersama-sama di dalam komunitas. Bagi orang-orang Ateis yang tidak percaya
Tuhan, mereka bisa memahami Tuhan sebagai alam, atau sebagai energi yang
menciptakan dan menggerakan seluruh alam semesta. Bentuk hubungannya tentu
berbeda, namun hakekatnya tetap sama, yakni kesadaran akan
“sesuatu yang lebih” dari manusia.
Yang keempat adalah dimensi historis.
Orang perlu berdamai dengan masa lalunya. Tentu, kita semua pernah mengalami
hal-hal yang menyedihkan dan menyakitkan di masa lalu. Semua itu bukan untuk
dilupakan, tetapi untuk diterima sebagai bagian dari perjalanan hidup yang tak
selalu mudah. Dari penerimaan lahir rasa damai, dan ini merupakan
bagian yang amat penting dari kesehatan. Masa lalu juga berarti orang-orang
yang kita sayangi, namun telah meninggal. Kita perlu mengingat dan berdamai
dengan mereka di dalam hati kita, supaya kita bisa menemukan kedamaian.
Jadi, ada empat dimensi dari
kesehatan yang harus diperhatikan, yakni dimensi fisik, dimensi sosial, dimensi
teologis dan dimensi historis. Berbicara kesehatan berarti berbicara keempat
dimensi tersebut. Jika salah satu dimensi saja yang kuat, sementara yang lain
lemah, maka orang itu tidaklah sehat.
Keempat dimensi itu harus dilihat sebagai satu paket yang tak bisa dipisahkan.
Menjaga Jarak
Pertanyaan yang lebih sulit adalah,
bagaimana kita bisa mencapai keselarasan di antara empat dimensi tersebut?
Bagaimana kita bisa sehat secara fisik, sosial, teologis maupun historis? Ada
banyak jawaban atas pertanyaan ini. Namun, jawaban yang paling mendekati
kebenaran adalah jawaban dari Anthony de Mello SJ di dalam bukunya yang
berjudul Awareness. Ia mencoba menggali kebijaksanaan dari
berbagai peradaban di dunia, walaupun ia kuat mengakar di dalam tradisi
Kristiani dan Buddhisme.
Langkah pertama adalah dengan menyadari perasaan-perasaan di dalam diri kita.
Ketika kita sakit atau mengalami musibah, kita tentu sedih. Ketika kita
mendapat hadiah atau berkat lainnya, kita tentu senang. Kita perlu untuk
menyadari semua perasaan-perasaan yang muncul ini di dalam hati kita.
Kita tidak boleh menolak perasaan
ini. Kita harus menerima dan merasakannya. Namun, disini letak langkah
pentingnya, kita tidak boleh menyamakan diri kita
seutuhnya dengan perasaan itu. Kita harus melihat perasaan itu sebagai sesuatu
yang berbeda dari diri kita. Kita harus mengamati
perasaan itu sebagai suatu gerakan emosi yang tidak sama dengan
jati diri kita yang asli.
Misalnya, kita merasa sedih. Kita
tidak boleh menyamakan seluruh jati diri kita dengan perasaan sedih itu.
Sebaliknya, kita perlu merasakan sekaligus menjaga jarak dari rasa sedih itu. Kita perlu mengamati rasa sedih di dalam batin kita dengan
jarak. Jarak ini nantinya akan menghasilkan kesadaran, bahwa kesedihan itu tidaklah asli,
melainkan sesuatu yang dengan mudah datang dan pergi, seperti angin saja,
sehingga ia bukanlah sesuatu yang penting.
Kata kunci disini adalah mengamati. Kita
perlu mengamati gerak emosi di dalam batin kita, selayaknya orang ketiga. Jadi,
ketika kita sedih, kita tidak boleh bilang, bahwa saya sedih, melainkan ada
sesuatu yang sedih. Kita amati, maka akan muncul jarak, dan kesedihan, ataupun
emosi lainnya, akan hancur dengan seketika. Kita pun akan
menemukan kedamaian yang sesungguhnya.
Inilah inti dari kesadaran diri.
Inilah inti dari mistisisme yang dicontohkan oleh berbagai orang besar dalam
sejarah, mulai dari Sokrates, Yesus, sampai dengan Martin Luther King. Intinya,
kita tidak boleh menyamakan jati diri kita dengan emosi
maupun perasaan kita! Kita harus menjadi pengamat yang berjarak atas
perasaan-perasaan kita sendiri.
Kesehatan sebagai Pencerahan
Dua hal berperan amat penting disini.
Yang pertama adalah komunitas. Manusia adalah mahluk sosial, maka ia memerlukan
orang lain dan komunitas, juga untuk mencapai kesehatan. Peran komunitas
amatlah penting untuk mendukung, terutama ketika orang sedang berada dalam
penderitaan. Orang yang telah sadar, yakni orang yang telah berhasil menjaga
jarak dari emosi maupun perasaannya, lalu akan berperan semakin aktif di dalam
komunitas, supaya bisa membantu orang-orang lainnya.
Yang kedua adalah kesehatan fisik. Orang
tidak mungkin menjadi sadar, jika ia kurang gizi. Orang tidak mungkin menjadi
sadar, jika ia kurang tidur. Maka, kesehatan fisik (keselarasan fisik) tetaplah
penting untuk diperhatikan, walaupun ini hanya satu bagian saja dari kesehatan
manusia.
Ketika orang hidup dalam harmoni di
dalam empat bidang yang sudah saya jelaskan di atas, maka ia akan sampai pada Pencerahan. Para filsuf dan mistikus ingin mencapai
kebijaksanaan dengan mencapai pencerahan batin. Inilah inti pencerahan batin
tersebut, yakni harmoni empat dimensi. Jadi, kesehatan tidak hanya terkait
dengan kebahagiaan, tetapi juga pencerahan.
Oleh Reza A.A Wattimena
https://rumahfilsafat.com/2014/06/20/filsafat-tentang-kesehatan/
HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN MANUSIA
Minggu, 18 Juli 2010
Manusia dan Filsafat
Karenamanusia itu memiliki akal pikiran yang senantiasa bergolak dan berpikir, dan karena situasi dan kondisi alam di mana dia hidup selalu berubah-rubah dan penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bahkan dahsyat, yang kadang-kadang dia tidak kuasa untuk menantang dan menolaknya, menyebabkan manusia itu tertegun, termenung, memikirkan segala hal yang terjadi di sekitar dirinya.
Dipandangnya tanah tempat dia berpijak, dilihatnya bahwa segala sesuatu
tumbuh di atasnya, berkembang, berbuah, dan melimpah ruah. Segala peristiwa
berlaku di atas permukaannya. Dan didalam siang dan malamnya dia menyaksikan
kebaikan dan keburukan, kebaktian dan kejahatan, sehat dan sakit, suka dan
duka, malang dan senang, hidup dan mati, dan sebagainya, yang meliputi dan
melingkupi kehidupan manusia. Hal-hal seperti itulah yang menakjubkan manusia,
menyebabkan dia termenung, merenungkan segala sesuatu. Dia berpikir dan
berpikir, sepanjang masa dan sepanjang zaman. Dia memikirkan dirinya sebagai
mikro-kosmos dan memikirkan jagat raya sebagai makro-kosmos. Dia memikirkan
juga alam ghaib, alam di balik dunia yang nyata ini, alam metafisika. Dan
diapun mulai membangun pemikiran filsafat.
Allah perlu dihayati kehadirannya
Schleiermacher adalah penganut Kant,
namun baginya Allah lebih baik tidak ditelusuri dengan metafisika belaka,
namun perlu dihayati kehadirannya, yaitu dengan kontemplasi. Baginya, Allah yang tidak bisa
ditangkap inderawi tidak
bisa juga dilacak dengan rasio murni. Istilah yang dipakai oleh
Schleiermacher untuk Allah adalah "Sang Universum".
Jika Kant mengenal Allah sebagai pemberi hukum moral yang melampaui rasionya,
Schleiermacher menganggap Allah yang dimaksud Kant tidak memadai dalam
kehidupan manusia, sebab Allah hanya pemberi ganjaran kepada
orang yang baik dan penghukum orang yang kurang baik. Sebab Allah, bagi Schleiermacher tidak
mungkin memberi hukuman kekal kepada manusia lantaran ia tidak sempurna, hal
ini dikarenakan bahwa manusia diciptakan Allah bukan agar ia sempurna,
melainkan agar ia berikhtiar mencapai kesempurnaan itu.
Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat
Penelaahan tentang Allah dalam
filsafat lazimnya disebut teologi
filosofi. Hal
ini bukan menyelidiki tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam
semesta, yakni makhluk yang diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata
sebagai kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya
bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise. Jadi
pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat. Namun pendapat ini ditolak oleh para
agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman. Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk
membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat
lainnya (Filsafat manusia, filsafat alam dll). Maka para filsuf mendefinisikannya
sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara refleksif, realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan
gambaran Allah melalui sekitar diri kita.
Studi tentang
Allah dan Kepercayaan
Hubungan Filsafat dengan Kebudayaan
Perlu disadari bahwa manusia sebagai pribadi,
masyarakat, bangsa dan negara hidup dalam suatu sosial budaya. Maka membutuhkan
pewarisan dan pengambangan sosial budaya yang dilakukan melalui pendidikan.
Agar pendidikan berjalan dengan baik. Maka membutuhkan filosofis dan ilmiah
berbagai sifat normatif dan pedoman pelaksanaannya. Karena pendidikan harus
secara fungsamental yang berazas filosofis yang menjamin tujuan untuk
meningkatkan perkembangan sosial budaya, marbtabat bangsawa, kewibawaan dan
kejayaan negara.
Pentingnya kebudayaan untuk mengembangkan suatu
pendidikan dalam budaya nasional mengupayakan, melestarikan dan mengembangkan
nilai budaya-budaya dan pranata sosial dalam menunjang proses pengembangan
danpembangunan nasional serta melestarikan nilai-nilai luruh budaya bangsa.
Merencanakan kegairahan masyarakat untuk menumbuhkan kreaktivtas ke arah
pembaharuan dalam usaha pendidikan yang tanpa kepribadian bangsa.
Tuhan dalam Bayangan Sifat Wujud
Zat Tuhan masih menjadi misteri yang
belum dapat ditemukan secara pasti. Berbagai ajaran agama, khususnya Islam,
menjelaskan eksistensi Tuhan hanya dapat dicerna dalam bentuk sifat wujud
Tuhan. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat.
Tuhan mengetahui melalui perantara
pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri yaitu zat atau esensi
Tuhan. Golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat. Sifat-sifat
itu tidak sama dengan esensi Tuhan tapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Nabi
Muhammad melarang orang-orang beriman untuk memikirkan Tuhan. Ia bersabda:
berpikirlah ciptaan Tuhan dan janganlah berfikir tentang Zat Tuhan. Dari segi
Diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena Zat itu bukanlah lokus efek
dan bukan pula diketahui oleh siapa pun.
Hakekat Tuhan
Memperbincangkan
hakekat Tuhan di antara berbagai para filosof, agamawan, dan saintis telah
memunculkan berbagai argument teolri spekulatif adanya Tuhan.
Dalam kajian ini mendekati pemahaman eksistensi
Tuhan ditinjau dari kajian ontologis, kosmologis, dan teologis. Ontologis
mewakili pandangan para filosof, kosmologis mewakili teori alam dan teologis
mewakili pandangan agama.
a.Argument ontologis
Pandangan ini menganggap bahwa tiap-tiap yang
ada pada alam nyata ini muncul karena ada alam ide.
Hakekat Tuhan
Memperbincangkan
hakekat Tuhan di antara berbagai para filosof, agamawan, dan saintis telah
memunculkan berbagai argument teolri spekulatif adanya Tuhan.
Dalam kajian ini mendekati pemahaman eksistensi
Tuhan ditinjau dari kajian ontologis, kosmologis, dan teologis. Ontologis
mewakili pandangan para filosof, kosmologis mewakili teori alam dan teologis
mewakili pandangan agama.
a.Argument ontologis
Pandangan ini menganggap bahwa tiap-tiap yang
ada pada alam nyata ini muncul karena ada alam ide.
Tuhan dalam Islam Al-Qur’an
sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam,
menjelaskan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan. Kehadiran Tuhan
merupakan fitrah manusia sebagai kebutuhan hidup. Menurut Yusuf Musa dalam
Al-Qur’an wa al-Falsafah, keyakinan kaum Muslim kepada Allah sebagai Tuhan Yang
Maha Esa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan maha-maha lainnya merupakan
akidah Islamiyah tentang ketuhanan.
Akidah ini
menjelaskan bahwa Allah adalah pencipta yang tidak memiliki awal dan akhir.
Allah adalah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada di langit
dan bumi. Alam ini adalah ciptaan-Nya, yang diciptakan dari tidak ada.
Selanjutnya dijelaskan oleh Musa bahwa akidah Islamiyah ini apabila dilihat
dari sudut filsafat akan menemukan adanya dua wujud, yaitu wujud abadi dan
wujud zamani.
TUHAN (T), ALAM (A), DAN MANUSIA (M) DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN
Tema sentral dari filsafat
pendidikan adalah pemahaman hubungan antara Tuhan (T), Manusia (M), dan Alam
(A). startnya adalah Tuhan dan berakhir pula untuk atau pada Tuhan. Manusia
merupakan actor penerima atau pengelola ciptaan Tuhan, sedangkan alam sebagai
sarana manusisa berbuat untuk menuju kembali pada Tuhan. Ketiganya memuat
hubungan yang sinergis, masing-masing ketiga actor tersebut memiliki peran yang
saling kait mengait antara yang menguntungkan atau merugikan.
Selasa, 29 November 2016
Pengamat: Salah Buat Kebijakan Pendidikan, Generasi Bisa Hancur
Senin, 28
November 2016 16:39
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Syahroni
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID,PONTIANAK - Pengamat
Pendidikan Kalbar, Dr Aswandi menyatakan perlu kajian lebih mendalam
terhadap kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI
melakukan memoratorium penyelenggaraan ujian nasional (UN).
Akan tetapi, untuk penerapan penghapusan
Unas ini menurut Aswandi tetap harus bertahap.
Tidak bisa langsung bombasitis diberlakukan
ke semua sekolah yang ada dan semua jenjang pendidikan.
Donasi pelanggan retail membantu memperbaiki dan mendampingi 14 sekolah dasar (SD)
Jakarta - Donasi pelanggan retail Hypermart dan grup PT Matahari Putra Prima
Tbk (MPPA), telah berhasil membantu memperbaiki dan mendampingi 14 sekolah
dasar (SD) di berbagai wilayah di Indonesia. Donasi tersebut merupakan hasil
dari program infak via kasir yang digelar pada Ramadhan 2014-2015 bekerjasama
dengan Dompet Dhuafa dan terkumpul sebesar Rp 2.356.755.436.
Director of Public
Relations and Communications MPPA, Danny Konjongian, mengatakan, kerjasama
dengan Dompet Dhuafa dalam program Infak via kasir telah berlangsung sejak 11
tahun lalu.
Mahathir Global Peace School (MGPS) ke-5
Program Mahathir Global Peace School (MGPS) ke-5 tahun ini yang
berlangsung di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) diikuti 36
peserta dari sebelas negara. Mereka berupaya membangun framework tentang perdamaian melalui dialog
bersama.
Kesebelas negara antara lain Uzbekistan, Filipina, Malaysia,
Yaman, Inggris, Bangladesh, Uganda, India, Polandia, Indonesia, dan Thailand.
Program kerja sama UMY dengan PGPF (Perdana Global Peace Foundation), ini
berlangsung selama 10 hari.
Hazel Jovita, peserta asal negara Filipina yang saat ini tengah
menempuh studi program Doktor di UMY, mengungkapkan progam MGPS 5 yang
mengangkat isu perdamaian, sesuai dengan latar belakang studi ilmu politik yang
ia ambil. Sedangkan di negara asalnya sendiri, isu perdamaian juga menjadi
topik yang sangat umum karena beberapa konflik masih terjadi di Filipina.
"Program ini juga menarik karena para peserta berasal dari
beragam negara dengan latar belakang yang juga berbeda, sehingga dalam setiap
diskusi akan membuat pandangan kita semakin meluas,” kata dia, dalam siaran
pers, Selasa (29/11).
Setelah MGPS 5 berakhir, Hazel berencana untuk segera
menyelesaikan studi dan disertasinya, kemudian kembali ke Filipina. Di sana ia
bermaksud membuat forum yang mirip dengan MGPS yang juga mengangkat perdamaian
sebagai topik utama.
Sementara itu, Imdad H Shezad, jurnalis asal Inggris yang
bekerja di World Peace Ambassador, mengungkapkan program MGPS akan sangat
membantu masyarakat yang ingin membangun harmoni dan toleransi.
Menurutnya, keberagaman peserta dari berbagai negara juga
dinilai sebagai salah satu poin plus dalam penyebaran nilai-nilai perdamaian ke
seluruh dunia.
Selain isu perdamaian, pada tema MGPS kali ini membahas worldwide
education sebagai perannya dalam menciptakan perdamaian.
“Sehingga para peserta dapat saling berdialog untuk pendidikan yang lebih
baik,” katanya.
Sumber : REPUBLIKA.CO.ID,
YOGYAKARTA
Diunggah
pada Selasa, 29 November 2016, 16:07 WIB
Pemerintah Harus Siapkan Alternatif Pengukur Mutu Pendidikan
REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi X DPR Fikri Fakih meminta pemerintah menyiapkan
alternatif lain untuk mengukur mutu pendidikan jika moratorium Ujian Nasional
(UN) dilaksanakan. Sebab, UN selama ini dijadikan alat ukur mutu pendidikan
oleh pemerintah.
“Kalau UN tidak dilakukan maka alat evaluasi harus tetap terpantau sehingga meyakinkan kita bahwa pendidikan kita mengalami kemajuan,” ujar Fikri saat dihubungi Republika, Senin (28/11).
Politikus Partai Keadilan Sejahteran (PKS) itu mencontohkan, pemerintah bisa mendorong sekolah untuk meningkatkan daya serap mata pelajaran. Disamping itu, pemerintah juga perlu melakukan pemantauan secara berkala ke sekolah.
Fikri mengakui selama ini UN selalu menakutkan bagi siswa. Pasalnya, dia menilai, UN dijadikan sebagai syarat kelulusan. Selain itu, UN juga menjadi tolak ukur kemampuan siswa.
“Jadi bagaimana pemerintah mengukur kemampuan tapi tidak mesti menentukan kelulusan,” kata Fikri.
Sumber:
Rep: Rahmat Fajar/ Red: Nidia Zuraya
Dok Republika
Tuesday, 29
November 2016, 05:41 WIB
Peningkatan Kualitas Guru Jadi Prioritas Perbaikan Pendidikan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy
mengusulkan untuk memberlakukan moratorium ujian nasional (UN) pada 2017
mendatang. Wacana ini pun didukung oleh Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema.
Menurut dia, saat ini pemerintah harus memprioritaskan peningkatan kualitas guru terlebih dahulu serta membangun sistem evaluasi dan penilaian yang baik. "Prioritas harus pada peningkatan kualitas guru dan membangun sistem evaluasi dan penilaian yang baik, termasuk salah satunya moratorium UN. Moratorium UN menurut saya sudah tepat," kata Doni saat dihubungi, Selasa (29/11).
Ia menjelaskan UN hanya merupakan salah satu cara dalam memberikan penilaian pendidikan nasional. Perbaikan kualitas para guru harus diutamakan karena guru merupakan kunci dari kualitas pendidikan. Sehingga, guru mampu membuat penilaian otentik bagi para siswanya. "Yang harus jelas adalah apa tujuan ujian itu dulu, baru dipilih alat yang tepat. Sarana bisa belakangan, tapi kualitas guru harus yang pertama karena mereka kunci kualitas pendidikan. Standar pendidiknya dikuatkan dulu," jelas Doni.
Meskipun moratorium UN tepat dilakukan, kendati demikian Doni menilai harus disertai perubahan kebijakan terkait evaluasi dan penilaian pendidikan, termasuk proses penilaian siswa oleh guru, sekolah, serta proses tes seleksi ke perguruan tinggi. Sebab hasil UN pun juga berdampak pada jalur undangan masuk perguruan tinggi negeri (PTN). "Kebijakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) perlu dihapus, seleksi SBMPTN dirombak total. Tes PTN diganti dengan porsi ujian tulis, tidak ada lagi jalur undangan yang mendasarkan diri pada nilai rapor," kata dia.
Seleksi masuk perguruan tinggi yang dilakukan melalui jalur tulis akan menjadi lebih adil dan objektif bagi para siswa. Sedangkan seleksi masuk ke SD dan SMP dapat dilakukan melalui penilaian rapor. Ia juga menyarankan sekolah dapat membuat alat seleksi masuk sekolah sendiri untuk menghindari subjektifitas.
Ia mengatakan penilaian kualitas dan kemampuan siswa yang diserahkan kepada guru dan sekolah telah sesuai dengan Undang-Undang. "Jangan dipindahkan UN ke daerah karena akan semakin rusak pendidikan kita," tambah Doni.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mewacanakan moratorium ujian nasional (UN) pada 2017. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy mengatakan, saat ini usulan tersebut sudah diajukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ia menjelaskan, Inpres akan memayungi sejumlah rancangan yang telah dirumuskan Kemdikbud. Salah satunya ihwal penetapan standar evaluasi pengganti UN, meminta daerah membentuk tim yang akan merumuskan soal ujian dan lain-lain.
Menurut Muhadjir, selama ini fungsi UN hanya sebagai pemetaan, bukan kelulusan. Sehingga, menurutnya tidak perlu dilaksanakan setiap tahun. Mendikbud ingin mengembalikan kebijakan evaluasi murid, menjadi hak dan wewenang guru, baik secara pribadi maupun kolektif.
Kendati demikian, Muhadjir mengatakan pemerintah tetap menerapkan standar nasional kelulusan masing-masing sekolah provinsi, kabupaten, kota. Kebijakan ini juga akan disesuaikan dengan adanya peralihan kewenangan SMA/SMK pada pemerintah provinsi.
Ia menjabarkan, berdasarkan pemetaan hasil UN, hanya 30 persen sekolah yang berada di atas standar nasional. Pemerintah, kemudian akan membenahi 70 persen sekolah yang berada di bawah standar nasional. Pembenahan sekolah akan dilakukan secara menyeluruh, termasuk kualitas guru, serta revitalisasi sekolah.
Sumber:
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA
Rep:
Dessy Suciati Saputri/ Red: Winda Destiana Putri
Tuesday,
29 November 2016, 15:47 WIB
Menyelamatkan Pendidikan Aceh
SETIAP kali
membicarakan soal Aceh dalam konteks ke Indonesiaan, dalam berbagai teks dan
karakter, Aceh selalu saja ingin menjadi daerah yang memiliki ciri kekhususan,
khas. Pokoknya berbeda dengan daerah lain, namun tidak suka dan tidak mau
dibeda-bedakan. Tidak ingin mendapat perlakukan diskriminasi dari pemerintah
pusat dalam berbagai hal. Buktinya, Aceh pasca kemerdekaan Indonesia mendapat
status “Daerah Istimewa Aceh”, lalu bertambah lagi menjadi daerah Otonomi
Khusus (Otsus), yang semuanya tampak begitu “istimewa” walau secara faktual
terkadang malah “menjadi bulan-bulanan”.
Ya, itulah potret Aceh selama ini. Terkadang,
status yang disandang tersebut, di satu sisi menjadi kebanggaan, namun di sisi
lain menjadi persoalan, ketika berjalan tidak ideal. Aceh pernah mendapat
status keistimewaan di bidang pendidikan. Dengan itu, idealnya Aceh dapat
memajukan pembangunan pendidikan di
Aceh. Namun sejarah membuktikan, bahwa sudah lebih setengah abad Indonesia
merdeka, kondisi pendidikan Aceh
dalam perspektif kualitas, masih tertinggal dibandingkan daerah lain yang tidak
memiliki status istimewa itu. Padahal, Aceh mendapatkan perlakuan khusus dan
status berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Aceh yang sudah menjalankan
syariat Islam, kini juga ingin memiliki sistem pendidikan yang
islami.
Aceh memang selalu ingin berbeda dengan
daerah lain, sesuai dengan status istimewa dan otonomi khusus yang dimiliki.
Sayangnya konsep pendidikan yang
berbasis syariah yang dimaksud sangat absurd, ya model pendidikan tanpa
bentuk yang jelas. Padahal, dengan status dan keinginan yang demikian, secara
ideal dapat mendorong daerah ini memiliki system pendidikan yang
lebih baik dari daerah lain, namun tak dapat dipungkiri bahwa kondisi pendidikan di
Aceh yang katanya memiliki jumlah dana pendidikannya nomor dua setelah DKI Jakarta,
memiliki segudang masalah dan distorsi dalam mencapai cita-cita pembangunan pendidikan di
daerah ini. Masalah-masalah itu tidak terselesaikan, karena memang tidak
diketahui dimana simpul masalahnya. Konon dulu, dikatakan ketua MPD Aceh bahwa
Aceh memiliki konsep strategic planning terbaik di Indonesia. Namun, mengapa
potret wajah pendidikan Aceh
masih buram?
Prof Dr Darwis A
Soelaiman menyimpulkan bahwa masalah yang dihadapi dalam membangun pendidikan kita
di Aceh cukup kompleks, bak benang kusut yang tidak mudah menguraikannya
(Serambi, 19/9/2016). Ya, soal pendidikan di
Aceh adalah masalah yang semakin tidak jelas dan complicated. Mengapa demikian?
Salah satu jawabannya adalah banyak mengalami aksi pengrusakan atau distorsi
yang amat berat dalam berbagai aspek pembangunan pendidikan Aceh.
Mengalami distorsi
Secara filosofis, arah pendidikan di Indonesia dan Aceh khususnya sudah benar. Ya untuk mencerdaskan bangsa. Dengan demikian, akan terwujud cita-cita bangsa ini menjadi bangsa yang hidup sejahtera dan makmur. Idealnya memang demikian, namun dalam tataran praktis, cita-cita mulia pendidikan itu mengalami distorsi di berbagai aras. Pertama, terkait dengan niat para pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini, baik di tingkat Nasional, maupun di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Niatnya sudah tidak lurus lagi ke arah kiblat pendidikan yang dirumuskan sejak awal. Penyebabnya, bisa karena factor politik, yang mempolitisasi pendidikan, yang mengarahkan pendidikan pada adanya politik pendidikan. Tak dapat dipungkiri bahwa selama ini lembaga-lembaga pendidikankita terus digiring oleh kepentingan politik penguasa, sesuai dengan selera penguasa. Kiblat pendidikan pun berubah sesuai dengan siapa yang sedang berkuasa.
Secara filosofis, arah pendidikan di Indonesia dan Aceh khususnya sudah benar. Ya untuk mencerdaskan bangsa. Dengan demikian, akan terwujud cita-cita bangsa ini menjadi bangsa yang hidup sejahtera dan makmur. Idealnya memang demikian, namun dalam tataran praktis, cita-cita mulia pendidikan itu mengalami distorsi di berbagai aras. Pertama, terkait dengan niat para pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini, baik di tingkat Nasional, maupun di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Niatnya sudah tidak lurus lagi ke arah kiblat pendidikan yang dirumuskan sejak awal. Penyebabnya, bisa karena factor politik, yang mempolitisasi pendidikan, yang mengarahkan pendidikan pada adanya politik pendidikan. Tak dapat dipungkiri bahwa selama ini lembaga-lembaga pendidikankita terus digiring oleh kepentingan politik penguasa, sesuai dengan selera penguasa. Kiblat pendidikan pun berubah sesuai dengan siapa yang sedang berkuasa.
Selain faktor politik kekuasaan, faktor
kepentingan ekonomi, juga telah menyeret dunia pendidikan menjadi
wilayah politik ekonomi penguasa. Pembangunan pendidikan pun
tak bisa terhindar dari kepentingan proyek yang berbasis fee. Pembangunan pendidikan menjadi
objek proyek (project oriented) dan mengabaikan kepentingan kualitas. Nurani
bukan untuk membangun, tetapi untuk memperoleh keuntungan material.
Kedua, distori terjadi pada strategi yang
digunakan/ditempuh untuk mencapai visi. Misalnya, kurikulum yang digunakan,
tidak pernah menjadi sebuah kurikulum yang matang, tetapi kurikulum setengah
matang. Belum selesai kurikulum A dilaksanakan, di tengah jalan, sejalan dengan
perubahan struktur Menteri Pendidikan, kurikulum berubah lagi. Perubahan
kurikulum secara serampangan ini, telah membuat guru yang berada di garda depan dunia pendidikan, mengalami kesulitan. Guru dan siswa
terus menjadi kelinci percobaan.
Dalam konteks Aceh yang katanya ingin
menjalankan model pendidikan islami,
pun hingga kini tidak jelas bagaimana wujud kurikulum yang berbasis syariat
atau pendidikan Aceh
yang islami itu. Sehingga pendidikan Islami
hanya menjadi komoditas politik para penguasa di semua level.
Ketiga, disorientasi pada proses dan tujuan pendidikan yang
awalnya mencerdaskan bangsa berubah menjadi pendidikanyang berorientasi pada nilai angka.
Ujian nasional yang sejatinya dapat digunakan sebagai alat ukur kualitas,
menjadi bulan-bulanan dan alat yang mendorong munculnya sikap dan perilaku
tidak jujur masyarakat sekolah. Tujuan orang tua mengantar anak ke sekolah,
bukan untuk mencerdaskan, tetapi untuk mendapatkan angka yang bagus dan lulus.
Sumber: serambi indonesia oleh Tabrani Yunis Selasa, 29 November
2016 09:23
Langganan:
Postingan (Atom)