Dimensi-dimensi dari Kesehatan
Saya ingin membedah dimensi ini satu
per satu. Yang pertama adalah dimensi fisik. Orang perlu makan makanan bergizi,
berolah raga, dan cukup beristirahat, jika ia ingin mendapatkan kesehatan
fisik. Namun, kesehatan fisik hanyalah bagian kecil dari kesehatan manusia. Ia memerlukan
dimensi lainnya.
Yang kedua adalah dimensi sosial.
Orang perlu untuk berdamai dengan
musuhnya dan saingannya, sehingga ia bisa memperoleh rasa damai. Orang boleh
bersaing dan bahkan berkonflik dengan orang lain. Namun, ini harus diatur,
sehingga semua tegangan dan konflik berujung pada perubahan yang
baik bagi semua pihak, dan bukan justru menghancurkan semuanya. Kesehatan di
bidang sosial ini amat erat terkait dengan kesehatan mental. Jiwa yang sehat
adalah jiwa yang damai, dan jiwa yang damai berarti mampu berdamai dengan orang lain di sekitarnya.
Yang ketiga adalah dimensi teologis.
Orang perlu untuk berbicara dan mendengar Tuhannya. Bagi orang-orang religius,
ini tentu sudah jelas. Orang perlu berdoa, baik secara pribadi di kamar maupun
bersama-sama di dalam komunitas. Bagi orang-orang Ateis yang tidak percaya
Tuhan, mereka bisa memahami Tuhan sebagai alam, atau sebagai energi yang
menciptakan dan menggerakan seluruh alam semesta. Bentuk hubungannya tentu
berbeda, namun hakekatnya tetap sama, yakni kesadaran akan
“sesuatu yang lebih” dari manusia.
Yang keempat adalah dimensi historis.
Orang perlu berdamai dengan masa lalunya. Tentu, kita semua pernah mengalami
hal-hal yang menyedihkan dan menyakitkan di masa lalu. Semua itu bukan untuk
dilupakan, tetapi untuk diterima sebagai bagian dari perjalanan hidup yang tak
selalu mudah. Dari penerimaan lahir rasa damai, dan ini merupakan
bagian yang amat penting dari kesehatan. Masa lalu juga berarti orang-orang
yang kita sayangi, namun telah meninggal. Kita perlu mengingat dan berdamai
dengan mereka di dalam hati kita, supaya kita bisa menemukan kedamaian.
Jadi, ada empat dimensi dari
kesehatan yang harus diperhatikan, yakni dimensi fisik, dimensi sosial, dimensi
teologis dan dimensi historis. Berbicara kesehatan berarti berbicara keempat
dimensi tersebut. Jika salah satu dimensi saja yang kuat, sementara yang lain
lemah, maka orang itu tidaklah sehat.
Keempat dimensi itu harus dilihat sebagai satu paket yang tak bisa dipisahkan.
Menjaga Jarak
Pertanyaan yang lebih sulit adalah,
bagaimana kita bisa mencapai keselarasan di antara empat dimensi tersebut?
Bagaimana kita bisa sehat secara fisik, sosial, teologis maupun historis? Ada
banyak jawaban atas pertanyaan ini. Namun, jawaban yang paling mendekati
kebenaran adalah jawaban dari Anthony de Mello SJ di dalam bukunya yang
berjudul Awareness. Ia mencoba menggali kebijaksanaan dari
berbagai peradaban di dunia, walaupun ia kuat mengakar di dalam tradisi
Kristiani dan Buddhisme.
Langkah pertama adalah dengan menyadari perasaan-perasaan di dalam diri kita.
Ketika kita sakit atau mengalami musibah, kita tentu sedih. Ketika kita
mendapat hadiah atau berkat lainnya, kita tentu senang. Kita perlu untuk
menyadari semua perasaan-perasaan yang muncul ini di dalam hati kita.
Kita tidak boleh menolak perasaan
ini. Kita harus menerima dan merasakannya. Namun, disini letak langkah
pentingnya, kita tidak boleh menyamakan diri kita
seutuhnya dengan perasaan itu. Kita harus melihat perasaan itu sebagai sesuatu
yang berbeda dari diri kita. Kita harus mengamati
perasaan itu sebagai suatu gerakan emosi yang tidak sama dengan
jati diri kita yang asli.
Misalnya, kita merasa sedih. Kita
tidak boleh menyamakan seluruh jati diri kita dengan perasaan sedih itu.
Sebaliknya, kita perlu merasakan sekaligus menjaga jarak dari rasa sedih itu. Kita perlu mengamati rasa sedih di dalam batin kita dengan
jarak. Jarak ini nantinya akan menghasilkan kesadaran, bahwa kesedihan itu tidaklah asli,
melainkan sesuatu yang dengan mudah datang dan pergi, seperti angin saja,
sehingga ia bukanlah sesuatu yang penting.
Kata kunci disini adalah mengamati. Kita
perlu mengamati gerak emosi di dalam batin kita, selayaknya orang ketiga. Jadi,
ketika kita sedih, kita tidak boleh bilang, bahwa saya sedih, melainkan ada
sesuatu yang sedih. Kita amati, maka akan muncul jarak, dan kesedihan, ataupun
emosi lainnya, akan hancur dengan seketika. Kita pun akan
menemukan kedamaian yang sesungguhnya.
Inilah inti dari kesadaran diri.
Inilah inti dari mistisisme yang dicontohkan oleh berbagai orang besar dalam
sejarah, mulai dari Sokrates, Yesus, sampai dengan Martin Luther King. Intinya,
kita tidak boleh menyamakan jati diri kita dengan emosi
maupun perasaan kita! Kita harus menjadi pengamat yang berjarak atas
perasaan-perasaan kita sendiri.
Kesehatan sebagai Pencerahan
Dua hal berperan amat penting disini.
Yang pertama adalah komunitas. Manusia adalah mahluk sosial, maka ia memerlukan
orang lain dan komunitas, juga untuk mencapai kesehatan. Peran komunitas
amatlah penting untuk mendukung, terutama ketika orang sedang berada dalam
penderitaan. Orang yang telah sadar, yakni orang yang telah berhasil menjaga
jarak dari emosi maupun perasaannya, lalu akan berperan semakin aktif di dalam
komunitas, supaya bisa membantu orang-orang lainnya.
Yang kedua adalah kesehatan fisik. Orang
tidak mungkin menjadi sadar, jika ia kurang gizi. Orang tidak mungkin menjadi
sadar, jika ia kurang tidur. Maka, kesehatan fisik (keselarasan fisik) tetaplah
penting untuk diperhatikan, walaupun ini hanya satu bagian saja dari kesehatan
manusia.
Ketika orang hidup dalam harmoni di
dalam empat bidang yang sudah saya jelaskan di atas, maka ia akan sampai pada Pencerahan. Para filsuf dan mistikus ingin mencapai
kebijaksanaan dengan mencapai pencerahan batin. Inilah inti pencerahan batin
tersebut, yakni harmoni empat dimensi. Jadi, kesehatan tidak hanya terkait
dengan kebahagiaan, tetapi juga pencerahan.
Oleh Reza A.A Wattimena
https://rumahfilsafat.com/2014/06/20/filsafat-tentang-kesehatan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar