Rabu, 30 November 2016

Reinventing Pendidikan



Melihat praktik pendidikan dewasa ini, rasanya menemukan kembali konsep penyelenggaraan pendidikan yang mampu menyiapkan generasi emas pada zamannya merupakan keharusan. Inilah reinventing masa depan pendidikan untuk menjawab fakta kondisi terkini. 

Diakui, banyak perubahan yang telah dilakukan negara dalam pendidikan, namun masih ditemukan pula sisi-sisi lain yang perlu pembenahan dan penyempurnaan. Paradigma Kurikulum 2013 cukup positif, namun penguatan sekolah dalam penerapannya masih terus perlu ditingkatkan. 

Memang, setiap perubahan pendidikan memerlukan proses, sehingga membutuhkan desainer handal sekaligus change maker(s). Tantangannya, tak semua orang bisa diajak berubah. Seringkali perubahan dipandang sebagai ancaman, bukan peluang. Terutama bagi kelompok the establishment yaitu kelompok mapan yang sudah cukup lama menikmati kondisi dan keadaan sekarang.

Tampaknya penting merenungkan kembali paradigma pendidikan Ki Hajar Dewantoro yang dikenal dengan "Konsep Trisakti Jiwa" yaitu cipta, rasa, dan karsa. Kombinasi sinergis antara hasil olah pikir (cipta), hasil olah rasa (rasa) serta motivasi yang kuat di dalam dirinya (karsa) harus mewarnai konsep pendidikan, mulai aspek yuridis, penguatan sistem, pengelolaan guru hingga proses pendidikan di sekolah, agar kelak tak hanya adaptif, namun juga bermakna. Konsep Ki Hajar Dewantoro sesungguhnya lebih kontekstual daripada Unesco yang dikenal learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together. 

Menjadi guru profesional merupakan keharusan. Namun perlu kebijakan yang memanusiakan, membelajarkan dan memberikan kenyamanan terhadap semua guru Indonesia dengan berbagai kondisinya. Guru satu sisi harus mendidik anak abad 21, namun para guru merupakan generasi abad ke-20. 

Kesejahteraan guru sebenarnya bukan hakikat reformasi pendidikan, melainkan hak yang memang harus diberikan oleh negara yang selama ini dedikasinya terus "dipuja" sedangkan kondisinya "sulit dikata". Apalagi perbaikan kesejahteraan belum tentu linier dengan peningkatan kualitas pembelajaran, bahkan bisa jadi dengan banyaknya beban, justru berpotensi melemahkan kualitas pendidikan di sekolah.

Meski demikian, mengubah kebiasan lama guru merupakan keniscayaan. Perlindungan profesi guru harus diberikan optimal, namun mesti senafas dengan semangat perlindungan anak. Mengingat ragam masalah di sekolah terkadang sebagian dipicu oleh memudarnya olah oknum guru dan lemahnya olah rasa siswa. 

Olah rasa adalah keterampilan mengontrol emosi, perasaan dan hati agar bisa merasa meskipun dalam kondisi menantang, menyulut kemarahan bahkan membosankan sekalipun. Bagaimana mungkin siswa mampu learning to live together (belajar hidup bersama), jika guru tidak memiliki kemampuan olah rasa. 

Bagaimana mungkin sekolah mencegah kekerasan atas nama pendisiplinan dan bullying jika olah rasa tidak ditumbuhkan. Bagaimana mungkin negara mencegah pembiaran oknum guru atas perilaku menyimpang siswa, jika guru tidak memiliki olah rasa. 

Paradigma penyelenggara pendidikan masa depan mesti menggerakkan semua warga sekolah mulai pimpinan, guru, tenaga kependidikan dan peserta didik agar mampu menumbuhkan olah pikir, olah rasa dan karsa. Inilah yang akan menghasilakan apa yang disebut civic intelligence yaitu "kemampuan untuk menyesuaikan diri, memilih dan mengembangkan lingkungannya". 

Kultur adaptif, kemampuan menfilter dan menciptakan lingkungan ramah anak merupakan jawaban atas kebutuhan abad 21. Inilah wahana pembibitan generasi emas di masa depan. Tentu bukan hanya sekolah, namun orangtua dan peran masyarakat juga harus berubah jika ingin masa depan anak Indonesia semakin lebih baik. 

*) Dr. Susanto, MA
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Alumni Program Doktor Universitas Negeri Jakarta 
sumber: https://news.detik.com/kolom/d-3355022/reinventing-masa-depan-pendidikan pada Jumat 25 Nov 2016, 19:12 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar