Selasa, 29 November 2016

Menyelamatkan Pendidikan Aceh



SETIAP kali membicarakan soal Aceh dalam konteks ke Indonesiaan, dalam berbagai teks dan karakter, Aceh selalu saja ingin menjadi daerah yang memiliki ciri kekhususan, khas. Pokoknya berbeda dengan daerah lain, namun tidak suka dan tidak mau dibeda-bedakan. Tidak ingin mendapat perlakukan diskriminasi dari pemerintah pusat dalam berbagai hal. Buktinya, Aceh pasca kemerdekaan Indonesia mendapat status “Daerah Istimewa Aceh”, lalu bertambah lagi menjadi daerah Otonomi Khusus (Otsus), yang semuanya tampak begitu “istimewa” walau secara faktual terkadang malah “menjadi bulan-bulanan”.

Ya, itulah potret Aceh selama ini. Terkadang, status yang disandang tersebut, di satu sisi menjadi kebanggaan, namun di sisi lain menjadi persoalan, ketika berjalan tidak ideal. Aceh pernah mendapat status keistimewaan di bidang pendidikan. Dengan itu, idealnya Aceh dapat memajukan pembangunan pendidikan di Aceh. Namun sejarah membuktikan, bahwa sudah lebih setengah abad Indonesia merdeka, kondisi pendidikan Aceh dalam perspektif kualitas, masih tertinggal dibandingkan daerah lain yang tidak memiliki status istimewa itu. Padahal, Aceh mendapatkan perlakuan khusus dan status berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Aceh yang sudah menjalankan syariat Islam, kini juga ingin memiliki sistem pendidikan yang islami.

Aceh memang selalu ingin berbeda dengan daerah lain, sesuai dengan status istimewa dan otonomi khusus yang dimiliki. Sayangnya konsep pendidikan yang berbasis syariah yang dimaksud sangat absurd, ya model pendidikan tanpa bentuk yang jelas. Padahal, dengan status dan keinginan yang demikian, secara ideal dapat mendorong daerah ini memiliki system pendidikan yang lebih baik dari daerah lain, namun tak dapat dipungkiri bahwa kondisi pendidikan di Aceh yang katanya memiliki jumlah dana pendidikannya nomor dua setelah DKI Jakarta, memiliki segudang masalah dan distorsi dalam mencapai cita-cita pembangunan pendidikan di daerah ini. Masalah-masalah itu tidak terselesaikan, karena memang tidak diketahui dimana simpul masalahnya. Konon dulu, dikatakan ketua MPD Aceh bahwa Aceh memiliki konsep strategic planning terbaik di Indonesia. Namun, mengapa potret wajah pendidikan Aceh masih buram?

Prof Dr Darwis A Soelaiman menyimpulkan bahwa masalah yang dihadapi dalam membangun pendidikan kita di Aceh cukup kompleks, bak benang kusut yang tidak mudah menguraikannya (Serambi, 19/9/2016). Ya, soal pendidikan di Aceh adalah masalah yang semakin tidak jelas dan complicated. Mengapa demikian? Salah satu jawabannya adalah banyak mengalami aksi pengrusakan atau distorsi yang amat berat dalam berbagai aspek pembangunan pendidikan Aceh.
Mengalami distorsi
Secara filosofis, arah pendidikan di Indonesia dan Aceh khususnya sudah benar. Ya untuk mencerdaskan bangsa. Dengan demikian, akan terwujud cita-cita bangsa ini menjadi bangsa yang hidup sejahtera dan makmur.  Idealnya memang demikian, namun dalam tataran praktis, cita-cita mulia pendidikan itu mengalami distorsi di berbagai aras. Pertama, terkait dengan niat para pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini, baik di tingkat Nasional, maupun di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Niatnya sudah tidak lurus lagi ke arah kiblat pendidikan yang dirumuskan sejak awal. Penyebabnya, bisa karena factor politik, yang mempolitisasi pendidikan, yang mengarahkan pendidikan pada adanya politik pendidikan. Tak dapat dipungkiri bahwa selama ini lembaga-lembaga pendidikankita terus digiring oleh kepentingan politik penguasa, sesuai dengan selera penguasa. Kiblat pendidikan pun berubah sesuai dengan siapa yang sedang berkuasa.

Selain faktor politik kekuasaan, faktor kepentingan ekonomi, juga telah menyeret dunia pendidikan menjadi wilayah politik ekonomi penguasa. Pembangunan pendidikan pun tak bisa terhindar dari kepentingan proyek yang berbasis fee. Pembangunan pendidikan menjadi objek proyek (project oriented) dan mengabaikan kepentingan kualitas. Nurani bukan untuk membangun, tetapi untuk memperoleh keuntungan material.

Kedua, distori terjadi pada strategi yang digunakan/ditempuh untuk mencapai visi. Misalnya, kurikulum yang digunakan, tidak pernah menjadi sebuah kurikulum yang matang, tetapi kurikulum setengah matang. Belum selesai kurikulum A dilaksanakan, di tengah jalan, sejalan dengan perubahan struktur Menteri Pendidikan, kurikulum berubah lagi. Perubahan kurikulum secara serampangan ini, telah membuat guru yang berada di garda depan dunia pendidikan, mengalami kesulitan. Guru dan siswa terus menjadi kelinci percobaan.

Dalam konteks Aceh yang katanya ingin menjalankan model pendidikan islami, pun hingga kini tidak jelas bagaimana wujud kurikulum yang berbasis syariat atau pendidikan Aceh yang islami itu. Sehingga pendidikan Islami hanya menjadi komoditas politik para penguasa di semua level.

Ketiga, disorientasi pada proses dan tujuan pendidikan yang awalnya mencerdaskan bangsa berubah menjadi pendidikanyang berorientasi pada nilai angka. Ujian nasional yang sejatinya dapat digunakan sebagai alat ukur kualitas, menjadi bulan-bulanan dan alat yang mendorong munculnya sikap dan perilaku tidak jujur masyarakat sekolah. Tujuan orang tua mengantar anak ke sekolah, bukan untuk mencerdaskan, tetapi untuk mendapatkan angka yang bagus dan lulus.


Sumber: serambi indonesia oleh  Tabrani Yunis Selasa, 29 November 2016 09:23


Tidak ada komentar:

Posting Komentar