Filsafat itu penjelasan! Dalam filsafat kadang yang penting bukan
jawabannya, tapi penjelasannya. Sebagai contoh, atas pertanyaan dari mana
asalmu? Kita bisa menjawab berasal dari masa lalu, pun bisa menjawab berasal
dari masa depan. Sejauh bisa menjelaskan, maka jawaban yang manapun benar.
Untuk dapat menjelaskan dengan baik, manusia membutuhkan bahasa yang mudah
dimengerti dan mudah dipahami. Sayangnya, bahasa manusia itu sakit - mempunyai
kelemahan, tidak bisa digunakan untuk mengungkapkan semua hal. Penyakit kebahasaan
ini tidak lepas dari kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia di dunia. Untuk
mengatasi keterbatasan ini, maka filsafat menggunakan bahasa analog. Bahasa
analog dipandang mampu mengkomunikasikan unsur-unsur dalam dimensi yang
berbeda. Budaya manusia menjadi berkembang karena bahasa analog.
Sebagai contoh
mantan adalah bahasa analognya bekas. Tentu kita tidak pas jika menyebut
presiden yang tidak lagi menjabat misalnya dengan bekas presiden, tetapi kita
akan menyebut sebagai mantan presiden. Demikianlah, bahasa dimensi atas
digunakan untuk bahasa dimensi rendah tidak cocok, pun sebaliknya. Jika
demikian yang terjadi maka hidup tidak akan selaras. Oleh karena itu bisa
dikatakan bahasa analog dapat membangun keselarasan dalam hidup. Kerapkali
banyak hal lebih mudah dijelaskan dengan bahasa analog agar mudah dimengerti
dan dipahami. Kisah pengajaran Yesus kepada para muridnya seperti diwartakan
dalam kitab Injil banyak disampaikan dengan perumpamaan-perumpamaan – dengan
bahasa analog. Karena dengan begitu ajaranNya bisa dikomunikasikan dalam
berbagai dimensi yang berbeda.
Akhirnya, berfilsafat itu mempunyai daya bongkar
dan daya dobrak yang luar biasa terhadap segala macam kemapanan, baik kemapanan
pemikiran dan kemapanan-kemapanan yang lain, bahkan kemapanan hidup. Mungkin
inilah salah satu alasan mengapa berfilsafat sering dihindari, sebab orang
tidak mau terusik dari zona mapannya. Dan ketika orang berhenti berfilsafat
maka sebenarnya kehidupan itu mandeg! Karena itu berarti orang berhenti berpikir,
berhenti berefleksi – berhenti merenung seperti gunung di kedalaman
kontemplasi. Lantas apa artinya hidup? Bukankah hidup yang tidak pernah
direfleksikan tidak layak untuk dihidupi?@
Sumber:
http://rumah-matematika.blogspot.co.id/2013/09/berfilsafat-mengolah-pikir-mengolah.html
Diakses 9. 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar