Kamis, 08 Desember 2016

Bahasa filsafat – bahasa analog


Filsafat itu penjelasan! Dalam filsafat kadang yang penting bukan jawabannya, tapi penjelasannya. Sebagai contoh, atas pertanyaan dari mana asalmu? Kita bisa menjawab berasal dari masa lalu, pun bisa menjawab berasal dari masa depan. Sejauh bisa menjelaskan, maka jawaban yang manapun benar. Untuk dapat menjelaskan dengan baik, manusia membutuhkan bahasa yang mudah dimengerti dan mudah dipahami. Sayangnya, bahasa manusia itu sakit - mempunyai kelemahan, tidak bisa digunakan untuk mengungkapkan semua hal. Penyakit kebahasaan ini tidak lepas dari kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia di dunia. Untuk mengatasi keterbatasan ini, maka filsafat menggunakan bahasa analog. Bahasa analog dipandang mampu mengkomunikasikan unsur-unsur dalam dimensi yang berbeda. Budaya manusia menjadi berkembang karena bahasa analog.
Sebagai contoh mantan adalah bahasa analognya bekas. Tentu kita tidak pas jika menyebut presiden yang tidak lagi menjabat misalnya dengan bekas presiden, tetapi kita akan menyebut sebagai mantan presiden. Demikianlah, bahasa dimensi atas digunakan untuk bahasa dimensi rendah tidak cocok, pun sebaliknya. Jika demikian yang terjadi maka hidup tidak akan selaras. Oleh karena itu bisa dikatakan bahasa analog dapat membangun keselarasan dalam hidup. Kerapkali banyak hal lebih mudah dijelaskan dengan bahasa analog agar mudah dimengerti dan dipahami. Kisah pengajaran Yesus kepada para muridnya seperti diwartakan dalam kitab Injil banyak disampaikan dengan perumpamaan-perumpamaan – dengan bahasa analog. Karena dengan begitu ajaranNya bisa dikomunikasikan dalam berbagai dimensi yang berbeda. 
       Akhirnya, berfilsafat itu mempunyai daya bongkar dan daya dobrak yang luar biasa terhadap segala macam kemapanan, baik kemapanan pemikiran dan kemapanan-kemapanan yang lain, bahkan kemapanan hidup. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa berfilsafat sering dihindari, sebab orang tidak mau terusik dari zona mapannya. Dan ketika orang berhenti berfilsafat maka sebenarnya kehidupan itu mandeg! Karena itu berarti orang berhenti berpikir, berhenti berefleksi – berhenti merenung seperti gunung di kedalaman kontemplasi. Lantas apa artinya hidup? Bukankah hidup yang tidak pernah direfleksikan tidak layak untuk dihidupi?@ 


Sumber:
 http://rumah-matematika.blogspot.co.id/2013/09/berfilsafat-mengolah-pikir-mengolah.html
Diakses 9. 33



Tidak ada komentar:

Posting Komentar