Sabtu, 10 Desember 2016

Filsafat, ke manakah arah perahu?


Oleh Milto
Seran Profesor Bryan Magee menutup halaman-halaman bukunya, “The Story of Philosophy” (Kisah Tentang Filsafat), dengan menulis sebuah artikel yang amat menarik. Artikel itu berjudul, “Masa Depan Filsafat – Terus Mencerahi dalam Upaya Pencarian yang Tak Akan Berakhir”. Melalui artikel yang amat singkat, padat dan jelas sekaligus memberi ruang berpikir bagi pembaca, Profesor Magee memastikan satu hal. Ia menulis, “Bisa dipastikan bahwa mungkin hanya satu atau dua filsuf dewasa ini yang akan terus dikenang dalam satu abad ke depan; yang lainnya akan lenyap dalam lembah keterlupaan yang dihuni oleh kebanyakan filsuf yang mungkin pernah dikenal baik pada masa hidup mereka. Corak-corak pemikiran yang menjadi tren pada masa-masa tertentu sama sekali bukan petunjuk bahwa mereka akan terus hidup dan dikenang di masa depan”. Hal keterlupaan ini bisa dimaklumi. Sebab filsafat dari hakekatnya bukanlah sebuah jalan baku, melaluinya manusia dengan mudah menemukan kebenaran. Filosof-filosof tertentu, yang pemikirannya menjadi tren pada suatu zaman, bisa saja terlempar ke dalam lembah kelam keterlupaan itu, oleh sebab filsafat juga pada prinsipnya tidak menyandang sifat doktrinal. Dalam perjalanan bersama sang waktu yang mahaluas, pemikiran-pemikiran filosofis bertemu. Berbenturan. Pemikiran seorang filosof terbuka untuk digugat kapan saja. Maka tren pemikiran filosofis pada suatu zaman tidak menjadi isyarat baku bahwa itulah satu-satunya kebenaran. Filsafat sejatinya mengandaikan keterbukaan terhadap pemikiran-pemikiran baru. Filsafat dalam rahim sejarah menegaskan jalan yang dijalaninya sebagai jalan yang terbatas. Jalan yang terbuka untuk kemungkinan-kemungkinan baru. Dan untuk tiba pada kemungkinan-kemungkinan baru, hal mutlak yang diandaikan adalah “aktivitas berpikir”. Dengan demikian jelaslah ungkapan ini; “Seorang filosof akan berhenti menjadi filosof ketika ia berhenti berpikir”. Filsafat pada mulanya adalah usaha rasional kritis manusia untuk menjelaskan realitas secara rasional. Maka, Voltaire yakin sungguh pada zamannya, “Takhayul membakar dunia, Filsafat memadamkannya”. Syahdan, Profesor Magee melihat kemungkinan berikutnya. Bahwa sangat boleh jadi, akan muncul inovasi-inovasi dan pencerahan yang jauh lebih besar daripada yang pernah terjadi di belakang kita. Hal ini beralasan. Masa lampau sejarah kita begitu singkat. Sedangkan masa depan di hadapan kita tak terduga panjangnya. Pada titik ini, sembari menatap luasnya horison masa depan (termasuk filsafat),  sebuah tanya bisa dilontarkan; Quo vadis, Philosophia? Filsafat sebagai ilmu kritis kini dihadapkan pada tantangan riilnya yang khas. Bahwa secara pragmatis, dalam praksis hidup manusia filsafat dipandang sebagai ilmu yang tidak memberi jaminan bagi kelangsungan hidup seorang individu. Sudah sejak beberapa abad yang lalu, filsafat digeluti hanya oleh kelompok orang yang  tidak harus berpartisipasi dalam kerja mencari nafkah. Dalam hal ini, filsafat dalam relasinya dengan pendidikan (selain dengan ilmu pengetahuan, tradisi dan agama) dipandang sebagai kegiatan yang terbatas bagi orang-orang yang memiliki waktu luang. Filsafat menjadi aktivitas yang ditekuni oleh elit pendidikan yang kecil dan terbatas. Filsafat, sebagaimana para filsuf yang terkenal menggeluti ilmu ini di zamannya, mudah terseret ke dalam lembah kelam keterlupaan. Sebab, primum manducare deinde philosophari (makan dulu baru berfilsafat). Adagium klasik tersebut, kiranya masih relevan. Di tengah dunia kontemporer yang kian pragmatis, seseorang yang setia menekuni filsafat bagaikan mesti berpuasa empatpuluh hari di padang gurun. Ia tak hentinya diuji. Tugasnya adalah menentukan titik orientasi. Atau berfilsafat (bersikap reflektif-kritis) atau menjadi pragmatis dan berhamba pada mammon. Pragmatisme dan segala bentuk pendekatannya yang tidak memberi ruang bagi refleksi kritis (filsafat) kiranya diwaspadai. Sebab jika tidak, sudah jelas filsafat yang terbatas pada sekelompok elit pendidikan, kian rawan terjerumus dalam lembah keterlupaan kolektif. Bisa saja orang lupa bersikap analitis-kritis di hadapan tawaran tertentu. Analisis pemikiran ditanggalkan. Jika hal terakhir ini terjadi, maka filsafat sebagai ilmu kritis boleh jadi hanya (akan) selesai di balik tembok-tembok ruang kuliah.
Filsafat bisa saja terkubur sunyi dalam tumpukan kitab ilmiah di perpustakaan-perpustakaan. Filsafat mungkin (akan) berakhir di kampus-kampus. Dengan kata lain, filsafat hanyalah menu khas untuk konsumsi keluarga besar warga kampus yang mendalami dunia filsafat. Pun jika ada yang mendalami filsafat di luar kampus, itu hanya segelintir orang yang barangkali setia menekuni filsafat secara otodidak. Di tengah keresahan demikian, sedikit hal menarik bisa disebutkan. Tatkala sebagian orang mulai lupa atau tidak tertarik pada peran kritis filsafat, segelintir orang di belahan lain planet ini sungguh-sungguh insyaf akan pentingnya berfilsafat. Tidak heran, belakangan ini filsafat sudah mulai diajarkan kepada siswa-siswa sekolah menengah di Inggris. Kita menyaksikan di sini, sebuah “penghargaan lebih” secara jitu ditujukan kepada status ilmiah filsafat. Filsafat menerobos masuk ke dalam ruang-ruang kelas sekolah menengah. Di tempat lain (lokal maupun global), ahli-ahli filsafat diundang untuk menjadi pembicara dalam seminar-seminar yang digelar di bawah tema tertentu. Atau ada juga yang memandu acara tertentu di studio televisi. Tentang yang terakhir ini, Profesor Magee adalah contoh yang baik. Ia memandu dua acara televisi BBC yang populer yakni Men of Ideas dan The Great Philosophers. Hal lain lagi yang lebih dilihat sebagai kejutan dalam dunia filsafat adalah Dunia Sophie (1991). Novel filosofis – buah tangan Jostein Gaarder – ini menyandang predikat international best seller. Sebuah buku pengantar sejarah filsafat yang sukses di luar dugaan banyak orang. Meningkatnya daya tarik terhadap filsafat seperti ini mungkin bertolak dari alasan tertentu. Bahwa filsafat masih dan akan tetap memainkan peran analitis-kritisnya. Filsafat menuntut kita untuk tak hentinya mempertanyakan realitas. Dengan sikap ini orang tidak begitu saja menerima sesuatu yang ditawarkan kepadanya (taken for granted). Dalam hal ini, filsafat dipandang sebagai jalan refleksi kritis untuk merenungi realitas kehidupan. Oleh sebab realitas kehidupan ini bersifat dinamis, maka jalan panjang pencerahan dan pencarian akan kebenaran tak akan pernah berakhir. Dalam ziarah panjang kehidupan (manusia), filsafat (aktivitas rasional kritis) bagaikan tiang awan yang menuntun bangsa Israel pada siang hari dan tiang api pada malam hari, ketika kawanan itu berangkat dari Sukot dan berkemah di Etam di tepi padang gurun. Tiang awan dan tiang api menentukan orientasi bangsa Israel di padang gurun. Demikian halnya, aktivitas rasional kritis membantu menentukan komitmen kita secara jelas di hadapan berbagai tawaran pragmatis di “padang gurun” kehidupan ini. Dengan demikian, menyitir pernyataan Ignas Kleden, Filsafat tetap dibutuhkan sebagai Anstrengung des Denkens(Hegel), yaitu sport ekstrim untuk otak dan akal manusia.*** (Milto Seran).

Diakses tanggal 10 desember 2016 pukl 22.28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar