Oleh Milto
Seran Profesor Bryan
Magee menutup halaman-halaman bukunya, “The Story of Philosophy” (Kisah Tentang
Filsafat), dengan menulis sebuah artikel yang amat menarik. Artikel itu
berjudul, “Masa Depan Filsafat – Terus Mencerahi dalam Upaya Pencarian yang Tak
Akan Berakhir”. Melalui artikel yang amat singkat, padat dan jelas sekaligus
memberi ruang berpikir bagi pembaca, Profesor Magee memastikan satu hal. Ia
menulis, “Bisa dipastikan bahwa mungkin hanya satu atau dua filsuf dewasa ini
yang akan terus dikenang dalam satu abad ke depan; yang lainnya akan lenyap
dalam lembah keterlupaan yang dihuni oleh kebanyakan filsuf yang mungkin pernah
dikenal baik pada masa hidup mereka. Corak-corak pemikiran yang menjadi tren
pada masa-masa tertentu sama sekali bukan petunjuk bahwa mereka akan terus
hidup dan dikenang di masa depan”. Hal keterlupaan ini bisa dimaklumi. Sebab
filsafat dari hakekatnya bukanlah sebuah jalan baku, melaluinya manusia dengan
mudah menemukan kebenaran. Filosof-filosof tertentu, yang pemikirannya menjadi
tren pada suatu zaman, bisa saja terlempar ke dalam lembah kelam keterlupaan
itu, oleh sebab filsafat juga pada prinsipnya tidak menyandang sifat doktrinal.
Dalam perjalanan bersama sang waktu yang mahaluas, pemikiran-pemikiran
filosofis bertemu. Berbenturan. Pemikiran seorang filosof terbuka untuk digugat
kapan saja. Maka tren pemikiran filosofis pada suatu zaman tidak menjadi
isyarat baku bahwa itulah satu-satunya kebenaran. Filsafat sejatinya
mengandaikan keterbukaan terhadap pemikiran-pemikiran baru. Filsafat dalam
rahim sejarah menegaskan jalan yang dijalaninya sebagai jalan yang terbatas.
Jalan yang terbuka untuk kemungkinan-kemungkinan baru. Dan untuk tiba pada
kemungkinan-kemungkinan baru, hal mutlak yang diandaikan adalah “aktivitas
berpikir”. Dengan demikian jelaslah ungkapan ini; “Seorang filosof akan
berhenti menjadi filosof ketika ia berhenti berpikir”. Filsafat pada mulanya
adalah usaha rasional kritis manusia untuk menjelaskan realitas secara rasional.
Maka, Voltaire yakin sungguh pada zamannya, “Takhayul membakar dunia, Filsafat
memadamkannya”. Syahdan, Profesor Magee melihat kemungkinan berikutnya. Bahwa
sangat boleh jadi, akan muncul inovasi-inovasi dan pencerahan yang jauh lebih
besar daripada yang pernah terjadi di belakang kita. Hal ini beralasan. Masa
lampau sejarah kita begitu singkat. Sedangkan masa depan di hadapan kita tak
terduga panjangnya. Pada titik ini, sembari menatap luasnya horison masa depan
(termasuk filsafat), sebuah tanya bisa dilontarkan; Quo vadis,
Philosophia? Filsafat sebagai ilmu kritis kini dihadapkan pada tantangan
riilnya yang khas. Bahwa secara pragmatis, dalam praksis hidup manusia filsafat
dipandang sebagai ilmu yang tidak memberi jaminan bagi kelangsungan hidup seorang
individu. Sudah sejak beberapa abad yang lalu, filsafat digeluti hanya oleh
kelompok orang yang tidak harus berpartisipasi dalam kerja mencari
nafkah. Dalam hal ini, filsafat dalam relasinya dengan pendidikan (selain
dengan ilmu pengetahuan, tradisi dan agama) dipandang sebagai kegiatan yang
terbatas bagi orang-orang yang memiliki waktu luang. Filsafat menjadi aktivitas
yang ditekuni oleh elit pendidikan yang kecil dan terbatas. Filsafat,
sebagaimana para filsuf yang terkenal menggeluti ilmu ini di zamannya, mudah
terseret ke dalam lembah kelam keterlupaan. Sebab, primum manducare deinde
philosophari (makan dulu baru berfilsafat). Adagium klasik tersebut, kiranya
masih relevan. Di tengah dunia kontemporer yang kian pragmatis, seseorang yang
setia menekuni filsafat bagaikan mesti berpuasa empatpuluh hari di padang
gurun. Ia tak hentinya diuji. Tugasnya adalah menentukan titik orientasi. Atau
berfilsafat (bersikap reflektif-kritis) atau menjadi pragmatis dan berhamba
pada mammon. Pragmatisme dan segala bentuk pendekatannya yang tidak memberi
ruang bagi refleksi kritis (filsafat) kiranya diwaspadai. Sebab jika tidak,
sudah jelas filsafat yang terbatas pada sekelompok elit pendidikan, kian rawan
terjerumus dalam lembah keterlupaan kolektif. Bisa saja orang lupa bersikap
analitis-kritis di hadapan tawaran tertentu. Analisis pemikiran ditanggalkan.
Jika hal terakhir ini terjadi, maka filsafat sebagai ilmu kritis boleh jadi
hanya (akan) selesai di balik tembok-tembok ruang kuliah.
Filsafat bisa saja
terkubur sunyi dalam tumpukan kitab ilmiah di perpustakaan-perpustakaan.
Filsafat mungkin (akan) berakhir di kampus-kampus. Dengan kata lain, filsafat
hanyalah menu khas untuk konsumsi keluarga besar warga kampus yang mendalami
dunia filsafat. Pun jika ada yang mendalami filsafat di luar kampus, itu hanya
segelintir orang yang barangkali setia menekuni filsafat secara otodidak. Di
tengah keresahan demikian, sedikit hal menarik bisa disebutkan. Tatkala
sebagian orang mulai lupa atau tidak tertarik pada peran kritis filsafat,
segelintir orang di belahan lain planet ini sungguh-sungguh insyaf akan
pentingnya berfilsafat. Tidak heran, belakangan ini filsafat sudah mulai
diajarkan kepada siswa-siswa sekolah menengah di Inggris. Kita menyaksikan di
sini, sebuah “penghargaan lebih” secara jitu ditujukan kepada status ilmiah
filsafat. Filsafat menerobos masuk ke dalam ruang-ruang kelas sekolah menengah.
Di tempat lain (lokal maupun global), ahli-ahli filsafat diundang untuk menjadi
pembicara dalam seminar-seminar yang digelar di bawah tema tertentu. Atau ada
juga yang memandu acara tertentu di studio televisi. Tentang yang terakhir ini,
Profesor Magee adalah contoh yang baik. Ia memandu dua acara televisi BBC yang
populer yakni Men of Ideas dan The Great Philosophers. Hal lain lagi yang lebih
dilihat sebagai kejutan dalam dunia filsafat adalah Dunia Sophie (1991). Novel
filosofis – buah tangan Jostein Gaarder – ini menyandang predikat international
best seller. Sebuah buku pengantar sejarah filsafat yang sukses di luar dugaan
banyak orang. Meningkatnya daya tarik terhadap filsafat seperti ini mungkin
bertolak dari alasan tertentu. Bahwa filsafat masih dan akan tetap memainkan
peran analitis-kritisnya. Filsafat menuntut kita untuk tak hentinya
mempertanyakan realitas. Dengan sikap ini orang tidak begitu saja menerima
sesuatu yang ditawarkan kepadanya (taken for granted). Dalam hal ini, filsafat
dipandang sebagai jalan refleksi kritis untuk merenungi realitas kehidupan.
Oleh sebab realitas kehidupan ini bersifat dinamis, maka jalan panjang
pencerahan dan pencarian akan kebenaran tak akan pernah berakhir. Dalam ziarah
panjang kehidupan (manusia), filsafat (aktivitas rasional kritis) bagaikan
tiang awan yang menuntun bangsa Israel pada siang hari dan tiang api pada malam
hari, ketika kawanan itu berangkat dari Sukot dan berkemah di Etam di tepi
padang gurun. Tiang awan dan tiang api menentukan orientasi bangsa Israel di
padang gurun. Demikian halnya, aktivitas rasional kritis membantu menentukan
komitmen kita secara jelas di hadapan berbagai tawaran pragmatis di “padang
gurun” kehidupan ini. Dengan demikian, menyitir pernyataan Ignas Kleden,
Filsafat tetap dibutuhkan sebagai Anstrengung des Denkens(Hegel), yaitu sport
ekstrim untuk otak dan akal manusia.*** (Milto Seran).Sumber : http://www.kompasiana.com/milto-seran-1983/filsafat-ke-manakah-arah-perahu_552a6e016ea8347c27552d76
Diakses tanggal 10
desember 2016 pukl 22.28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar