Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal
yang sifatnya terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh
para filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim
itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para
filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim
hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang selain-Nya.
Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali.
Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal.
Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah perubahan pada objek ilmu tidak
membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada
zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian
al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan
Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian berpindah lagi
kedepan atau kebelakang, maka yang berubah adalah orang itu, bukanya Anda. Ia
mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan
tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.
Untuk memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan
dalil-dalil al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik
yang besar atau yang kecil.
Dalil pertama:
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلا
تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا
يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا
أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak
membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan,
melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput
dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di
langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu,
melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus:
61)
Dalil kedua :
قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم
Artinya:”Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan
kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan
apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"(Q.S.
Al-Hujurat: 16).
Dalam ayat ini jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas segala
sesuatu. berbeda dengan Ibnu Rusyd yang mengatakan Tuhan hanya tahu yang
universal, bukan perkara yang kecil (partikular). Tudingan al-Ghazali ini
berbentuk sebuah ucapan seperti di bawah ini :
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para
filsafat) ”Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal,
tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular” pernyataan ini jelas-jelas telah
menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan ketidakberimanannya mereka.
Maka yang benar adalah ”tidak ada sebutir atom pun di langit maupun di bumi
yang luput dari pengetahuan-Nya.”
Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd maka akan berlawanan,
menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i (parsial) dan
kully (umum). Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan
materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindera. Kully, mencakup berbagai jenis
(nu’). Kully bersifat abstrak, hanya dapat diketahui melalui akal. Allah
bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera
untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para
filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kully
Sumber: https://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-al-ghazali-dan-pemikiran.html
Diakses pukul 23.54
Apakah berarti tuduhan imamul Ghazali itu dibantah oleh Ibnu Rusyd? Ataukah secara hakikat pemahaman mrk berdua sebenarnya sama?
BalasHapus