a. Epistimologi
Sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz Min Al-Dhalal,
ia ingin mencari kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya
betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari
tiga. “sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga itu lebih banyak dari
sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang
memang betul ia laksanakan, saya akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun
demikian keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah”.
Seperti inilah menurut Al-Ghazali pengetahuan yang sebenarnya.
Pada mulanya Al-Ghazali beranggapan bahwa pengatahuan itu adalah hal-hal
yang dapat yang ditangkap oleh panca indera. Teatapi, kemudian ternyata baginya
bahwa panca indera juga berdusta. Seumpama: “bayangan (rumah) kelihatannya
tidak bergerak, tetapi berpindah tempat,” atau seperti “bintang-bintang
dilangit, kelihatannya kecil tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang
itu lebih besar dari bumi”.
Karena tidak percaya kepada panca indera, Al-Ghazali kemudiaan meletakkan
kepercayaannya kepada akal. Tetapi akal juga tak dapat dipercaya. Sewaktu
bermimpi, demikian menurut Al-Ghazali, orang melihat hal-hal yang kebenarannya
betul-betul, namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu
sebetulnya tidaklah benar atau karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang
menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan
pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal.
Artinya, akal pada dirinya membenarkan pandangan-pandangan yang bertentangan
itu. Seperti yang disebut diatas bahwasannya Al-Ghazali mencari ‘ilm
al-yaqiniyang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Namun, Al-Ghazali
tidak konsekuen dalam menguji kedua sumber pengetahuan itu. Ketika menguji
pengetahuan inderawi, ia menggunakan argumentasi faktual atas kelemahannya.
Tetapi, ketika membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari
akal, ia menggunakan kesimpulan hipotesis (fardhi) saja. Ketika itu, ia
tidak berhasil membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi daripada
akal secara faktual. Akhirnya Al-Ghazali mengalami puncak kesangsian, karena ia
tidak menemukan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Tetapi dua bulan
kemudian, dengan cara tiba-tiba tuhan memberikan nur- yang
disebut juga oleh Al-Ghazali sebagai kunci ma’rifat- ke dalam
hatinya, sehingga ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran
pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis. Dengan
demikian, bagi Al-Ghazali bahwa al-dzawaq (intuisi) lebih
tinggi dan lebih dipercaya dari pada akal untuk menangkap pengetahuan tertinggi
tersebut dinamakan juga al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi
berbentuk wahyu dan ada manusia bisaa berbentuk ilham.
Pengetahuan yang bersifat rabbaniyah (ladunniyah) adalah
tingkat tertinggi pengetahuan. Pengetahuan yang membutuhkan ibadah,
kezuhudan, mujahadah (mendekatkan diri kepada AllahSWT), dan
olah batin (riyadhah an-nafs). Lapangan filsafat menurut Al-Ghazali ada
enam yaitu: matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika.
Logika menurut Al-Ghazali, juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
Logika berisi penyelidikan tentang dalil-dali pembuktian, silogisme,
syarat-syarat pembuktian, definisi-definisi, dsb. Bahaya yang ditimbulkan
logika adalah menjadikan logika sebagai pendahuluan dalam persoalan ketahunan
(metafisika), sedangkan sebenarnya tidak demikian.
Al-Ghazali membagi filsuf kepada tiga golongan, yaitu materialis (dahriyyun),
naturalis (thabi’iyyun), dan theis (ilahiyun). Kelompok
pertama materialis, terdiri dari para filsuf awal, seperti
Emepodokles (490-430 SM) dan Demokritus (460-360 SM), mereka pencipta dan
pengatur dunia, dan yakin bahwa dunia ini telah ada dengan sendirinya sejak dahulu.
Al-Ghazali menganggap mereka tidak beragama.
Kelompok kedua naturalis,terpesona oleh keajaiban penciptaan
dan sadar akan maksud yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam rencana segala
sesuatunya, mengakui eksistensi suatu pencipta bijaksana tetapi menyangkal
kerohanian dan sifat immateriality jiwa manusia mereka menjelaskan perihal jiwa
dalam istilah naturalis sebagai sautu epifenomena jasad dan yakin bahwa
kematiaan jasad menyebabkan jiwa tak berwujud sama sekali.
Kelompok ketiga theis, tergolong para filsuf lebih modern,
meski mereka menyerangmenyerang kaum materialis dan naturalis Al-Ghazali
berpendapat kaum theis ini masih menyimpan sisa kekafiran dan paham
bi’ah. Sebab itu dia menilai mereka maupun para filsuf muslim yang
mengikutinya sebagai kaum kafir. Menurut pendaatnya diantara
pengukut mereka, Al-Farabi dan Ibn Sina adalah penerus terbaik filsafat
Aristoteles ke dalam dunia islam.
b. Metafisika
Dalam lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras
terhadap Neo-Platonisme islam, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam
lapangan logika dan matematika. Untuk itu secara langsung Al-Ghazali mengecam
dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan Aristoteles, guru
mereka.
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, para
pemikir bebas tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan islam dan
mengabaikan dasardasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak
berguna bagi pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filsuf tersebut sebanyak
dua puluh persoalan (enam belas dalam bidang metafisika dan empat dalam bidang
fisika). Dalam tujuh belas soal mereka harus dinyatakan sebagai ah-bida’ ,
sedangkan dalam tiga soal lainnya, mereka dinyatakan sebagai kafir, karena
pikiran-pikiran mereka dalam tiga soal teresbut berlawanan sama sekali dengan
pendirian semua kaum muslimn.
Diantara dua puluh soal persoalan yang dimaksud adalah:
· Alam qadim (tidak bermula).
· Keabadian (abadiah) alam, masa, dan gerak.
· Konsep tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk
citaan-Nya,ungkapan ini bersifat metaforis.
· Demonstrasi/pembuktian eksistensi penciptaan alam.
· Penolakan akan sifat-sifat tuhan.
· Argumen rasional bahwa tuhan itu satu dan mungkinnya pengandaian dua wajib
al-wujud.
· Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan.
· wujud tuhan dalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau
esensi.
· Argumen rasional tentang sebab dan pencipta alam (hukum tak dapat berubah).
· Argumen rasional bahwa tuhan bukan tubuh (jism).
· Pengetahuan tuhan tentang selain diri-Nya, dan tuhan mengetahui species dan
secara universal.
· Pembuktian bahwa tuhan mengetahui diri-Nya sendiri.
· Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan
secara umum.
· Langit adalah makhluk hidup dan mematuhi tuhan dengan gerak putarnya.
· Tujuan yang menggerakkan langit.
· Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula (al-juziyyat
al-haditsah).
· Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.
· Jiwa manusia adalah subtansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak
menempati ruang, tidak terpateri pada tubuh, daan bukan tubuh.
· Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya
membuatnya mustahil bagi kita membayangakan kehancurannya.
· Penolakan terhadap kebangkitan jasmani.
Tiga persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah:
· Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal.
· Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat)
yang terjadi di dalam.
· Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasry al-ajsad) di
akhirat.
Dalam persoalan ini, terlepas dari besarnya pengaruh dan jasa Al-Ghazali,
setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati, yaitu: Pertama: bahwa
ia sesungguhnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya Al-Farabi dan
Ibn Sina dan tidak menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. sebab
Al-Ghazali tetap mengakui pentingnya logika atau epistimologi dalam penjabaran
ajaran-ajaran agama. Kedua: dalam bukunya Al-Ghazali menilai
Al-Farabi dan Ibn Sina serta filsuf yang lainnya telah kufur karena mengajarkan
tentang keqodiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan tuhan terhadap
hal-hal yang partikular. Ketiga: tentang pembagian filsafat
yunani dalam tiga bagian materalisme (Dahriyun), naturalisme
(Thabi’iyyun), dan theisme (Ilahiyyun) bahwa betul
Al-Farabi adalah Aristoteles tapi ia hanya mengambil dan mengembangkan aspek
logikanya belaka seperti yang kita lihat pada bagian epistimologi burhani.
Al-Ghazali juga membagi manusia kepada tiga golongan, yaitu:
(1) kaum awam, yang cara berpikirnya sederhan sekali, (2) kaum
pilihan (elect) yang akalnya tajam danberpikir secara mendalam, dan (3)
kaum penengkar. Sebagai filosof-filosof dan ulama-ulama lain,
Al-Ghazali dalam hal ini, membagi manusia kedalam dua golongan besar, awam dan khawas,
yang daya tangkapnya tidak sama, dan oleh karena itu apa yang dapat diberikan
kepada golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada
kaum awam. Dan sebaliknya pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang
hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acap kali berbeda, dan
berbeda menurut daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa
yang tersurat dan kaum khawas, sebaliknya, membaca apa
yang tersirat.
c. Moral
Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu:
· Mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoretis, yang berusaha
memahami ciri kesusilaan(morlitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku
orang yang mempelajarinya.
· Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan perilaku
sehari-hari.
· Karena akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan
usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalampenyelidikan akhlak
harus terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada,
sehingga akhlak menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri.
Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam
kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak
diamalkan tidak lebih dari pada kebodohan. Akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali
bercorak teologis(ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan
mengacu kepada akibatnya. Suatu derat baik atau buruk berbagai amal berbada
oleh sebab perbedaan dalam hal pengaruh yang ditimbulkannya dalam jiwa
pelakunya.
Masalah kebahagian, menurut Al-Ghazali kebahagian yang menjadi tujuan
manusia adalah kebahagian ukhrawi. Kebahagian ukhrawi mempunyai empat ciri
khas, yakni berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan tanpa dukacita, pengetahuan
tanpa kebodohan,dan kecukupan (ghina), yang tak membutuhkan apa-apa lagi
guna kepuasan yang sempurna. Kebahagian yang dimaksud adalah kebahagian yang
sesuai Al-qur’an dan Hadits adalah surga.
d. Jiwa
Manusia diciptakan menurut Al-Ghazali dicitakan Allah sebagai makhluk yang
terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, menjadi inti hakekat manusia adalah makhluk
spiritual rabbaniyang sabgat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyah).
Istilah-istilah yang digunakan Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh,
nafs, dan ‘aql.
Jiwa bagi Al-Ghazali merupakan suatu zat (jauhur) sehingga ia
ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan
sebaliknya. Jiwa berada didalam spiritual, sedangkan jasad dialam materi. Jiwa
bagi Al-Ghazali, berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiyah.
Disamping itu jiwa mempunyai kemampuan memahami, sehingga persoalan kenabian,
ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makan
dalam kehidupan manusia.
Mengenai kekekalan jiwa Al-Ghazali menegaskan bahwa tuhan sesungguhnya dapat
menghancurkan jiwa (al-nafs), tetapi ia tidak melakukannya. Disini Al-Ghazali
berada dipersimpangan pandangan sebagai mutakallimin (kemungkinan
hancurnya jiwa apabiala dikehendaki tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa
mempunyai sifat substanai kekla). Dengan demikin bantahan Al-Ghzali terhadap
filsuf dalam bukunya Tahafut al-Falasafah, bukan ditekankan pada kekalnya jiwa,
yang dibantahnya dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk
memebuktikan jiwa itu. Menurutnya, hanya syara’ yang bisa menjelaskan
persoalan al-ma’ad (kehidupan di akhirat).
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah, setiap
jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuanya iwa bisa mendatapkan bekal bagi
hidup kekal. Semua yang ada pada jasad merupakan “pembantu” jiwa. Meskipun jiwa
dan jasad merupakan wujud yang berbeda
tetapi kedunya mempengruhi dan menentukan jalannya masing-masing. Karena itu,
bagi Al-Ghazali setiap perbuatan akan menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni
membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan secara sadar.
Sumber Bacaan
· Jamaluddin al-Qafthi, Akhbar al-‘Ulama bi Akhbar al-Hukama’,
Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.t.
· Naiati M Ustman. 2002. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim.
Bandung: Pustaka Hidayah
· Nasition Harun. 1973. Filsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang
· Soleh A Khudri. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
· Fakhry Majid. 2001. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan
· Hanafi Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
· http://Halid.nurislami.com
· http://www.nlm.nih.gov/hmd/arabic/E8.html
Sumber:
diakses 11
desember 2016 pukul 21.21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar