Selasa, 13 Desember 2016

Kajian Filsafati tentang Arah dan strategi perkembangan ilmu pengetahuan


Bukan hal yang ajaib bila berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang sekarang dikenal orang berasal dari kebudayaan Yunani Kuno. Ilmu pengetahuan dimulai dari filsafat, nyaris sebagai satu satunya ilmu di masa itu untuk kemudian berangsur-angsur menelorkan percabangan dan perantingan keilmuan lebih jauh. Meskipun demikian, jika sejarah ilmu itu ditelusuri sesuai dengan akar katanya, maka akan diketahui bahwa ilmu sudah tumbuh jauh sebelum para pemikir Yunani mengenalnya. Usaha mula mula di bidang keilmuan yang tercatat dalam sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir, di mana banjir sungai Nil yang terjadi tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri, dan kegiatan survey.
Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh bangsa Babylonia dan Hindu yang memberikan sumbangan-sumbangan berharga meskipun tidak seintensif kegiatan bangsa Mesir. Setelah itu muncul bangsa Yunani yang menitikberatkan pada pengorganisasian ilmu. Bangsa Yunani dapat dianggap sebagai perintis dalam mendekati perkembangan ilmu secara sistematis. Sejalan dengan hal di atas, maka arah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah sbb.:
1. Ilmu berkembang dari keadaan bersatu menuju keadaan yang banyak atau terspesialisasi.
 Dari aspek ini dinyatakan, bahwa tidak ada ilmu pengetahuan pada umumnya, yang ada hanyalah ilmu konkrit. Perkembangan seperti ini ternyata tidak dapat dielakkan, sehingga ilmu dalam perkebangannya menuju ke arah spesialisasi. Spesialisasi dimungkinkan oleh karena manusia dapat menelaah satu aspek saja pada satu soal, terutama pada tahapan analisis.

2. Ilmu berkembang dari cara kerjanya yang rasional ke arah rasional empiris dan rasional eksperimental. Aspek perkembangan ini bersangkutan dengan metode ilmu dan metode merupakan komponen pokok dalam segala aktivitas keilmuan.
 Ditelusuri lebih jauh, karakter ilmu mengalami perubahan, dari masa Purba yang hanya memiliki “a receptive and emperical mentality” ke arah bangkitnya suatu “inquiring mind”, dari kemampuan know-how ke arah know-why. (inquire: menyelidiki/ ingin tahu).
3. Ilmu berkembang dari sifatnya yang kualitatif ke arah kuantitatif. Dari aspek ini perkembangan ilmu ditandai suatu pergeseran pandangan tentang objek manakah yang bisa dan patut dikaji secara ilmiah. Ilmu-ilmu positif misalnya, mulai menyangsikan realibilitas dan validitas persoalan-persoalan metafisik, yang oleh para pengikut positivisme dianggap sebagai “nonsense”.
4. Perkembangan ilmu terjadi pergeseran dari fungsi memajukan masyarakat ke arah ideologi yang mendominasi masyarakat. Beberapa tokoh yang mengkritik perkembangan ilmu yangdemikian itu, seperti Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas.
Strategi pengembangan ilmu pengetahuan
            Strategi pengembangan ilmu terdapat tiga macam pendapat, yaitu:
1.             Pendapat yang menyatakan bahwa ilmu dikembangkan dalam otonomi tertutup. Ilmu untuk ilmu, science for the sake of science only. Di sini pengeruh konteks dibatasi atau bahkan disingkirkan.
2.             Ilmu lebur di dalam konteks, tidak saja sekedar merefleksikannya tetapi memberi justifikasi bagi konteks.
3. Ilmu dan konteks dikembangkan dengan suasana saling meresapi, agar timbul gagasan-gagasan baru yang relevan dan aktual, sejalan dengan kenyataan yang tumbuh dan berkembang. Oleh sebab itu tidak dapat dielakkan bahwa semakin terasa adanya urgensi untuk menjelaskan dan mengarahkan perkembangan ilmu tidak hanya berhenti atas dasarcontext of justificationakan tetapi atas dasar context of discovery. Hal ini disebabkan karena pada akhirnya ilmu pengetahuan dibutuhkan, dan pada gilirannya dipergunakan sebagai instrumen bagi penyelesaian masalah masalah konkrit yang dihadapi masyarakat.
Koento Wibisono (1983) berpendapat bahwa strategi pengembangan ilmupengetahuan harus berorientasi pada dimensi:
1. Dimensi teleologis, artinya bahwa ilmu pengetahuan hanyalah sekedar sarana yang dibutuhkan untuk mencapai  suatu teleos.
2. Dimensi etis, artinya bahwa ilmu pengetahuan berkiblat pada manusia yang menduduki tempat sentral. Dimensi etis menuntut pengembangan ilmu pengetahuan secara bertanggung jawab.
3. Dimensi integratif, artinya bahwa pengembangan ilmu pengetahuan pada akhirnya terarah pada peningkatan kualitas manusia yang sekaligus juga kualitas struktur masyarakat.


Sumber:

 http://filsafat-unhi.blogspot.co.id/2015/02/filsafat-ilmu-pengetahuan.htmlDiakses 13 desember 2016 pukul 16.45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar