Dalam bagian pendahuluan kitab Al-Asfar, Mulla Shadra menyesalkan sikap
berpaling masyarakat Muslim dari studi filsafat. Padahal, prinsip-prinsip
filsafat yang dipadukan dengan kebenaran wahyu Nabi adalah cermin nilai
kebenaran tertinggi.
Menurutnya, keharmonisan itu menunjukkan kebenaaran tunggal yang dibawa
oleh Adam. Dari Adam,
kebenaran ini diturunkan kepada Ibrahim, kemudian para filosof Yunani, lalu
para sufi, dan akhirnya, para filosof pada umumnya. Orang-orang Yunani, tulisannya,
semula menjadi penyembah binatang. Akan tetapi, dalam perjalanannya, mereka
mengambil filsafat dan teologi dari Ibrahim.
Dalm konteks ini, Mulla Shadra membedakan dua kategori filosof Yunani kuno.
Kategori pertama dimulai oleh Thales dan berakhir pada Socrates dan Plato. Dan
kategori kedua dimulai oleh Pythagoras yang menerima filsafat dari sulaiman dan
para rahib Mesir-seperti yang terungkap dari banyak catatan sejarah filsafat
Arab. Di antara "tiang-tiang filsafat", Mulla Shadra menyebut nama
Empedocles, Pythagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles, sedangkan mengenai
hubungan Plotinus-yang dijulukinya dengan guru Yunani dan acp disebutnya dengan
rasa hormat dengan Plato dan Aristoteles, Mulla Shadra, seperti kebanyakan
filosof Muslim lainnya, samasekali berskap diam. Semua "tiang
filsafat" Yunani yang disebutkan di atas, menurut Mulla Shadra,
menerima "cahaya Hikmah" dari "mercusuar kenabian".
Inilah sebabnya, para filosof itu secara keseluruhan bersesuaian dengan
para nabi dalam persoalan-persoalan menyangkut keesaan Tuhan, penciptaan alam,
dan hari kebangkitan. Terlepas dari pandangannya tentang sejarah filsafat ini,
sosok metodologi
Mulla Shadra yang
mesti diperhatikan adalah penerapan kategori-kategori filsafat dan tasawuf pada
ajaran-ajaran Syi'ah. Dia berpendapat bahwa tahapan kenabian dalam sejarah
dunia berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad Saw., "pamungkas para
nabi". Tahapan selanjutnya ialah imamah (wilayah/wishayah) yang terdiri
dari dua belas imam Syi'ah. Imamah akan terus berlanjut hingga kembalinya imam
kedua belas yang saat ini masih gaib menurut doktrin Syi'ah.
Empat perjalanan jiwa, seperti yang dikemukakan dalam Al-Asfar Al-Arba'ah,
adalah sebagai
berikut:
· Perjalanan dari makhluk (khalaq) menuju Tuhan (Haqq).
· Perjalanan menuju Tuha melalui (bimbingan )Tuhan.
· Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
· Perjalanan di dalam makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
Jiwa manusia berbeda dengan semua entitas makhluk lantaran ia merupakan
sebuah perpaduan cahaya dan kegelapan. Karena itulah ada keterkaitan antara
alam akal, atau "alam perintah", demikian para sufi menyebutnya, dan
alam materiil, atau "alam ciptaan". Yang terakhir dimulai dengan
garis lintas universal-yang memisahkan "alam akal" atau alam jiwa
dengan alam materiil atau alam entitas-entitas indriawi.
Diagram berikut akan melukiskan hierarki atau "mata rantai wujud"
dalam konsep
Mulla Shadra yang pada
dasarnya mirip konsep Neoplatinos:
Cahaya Tertinggi
(Wajib Al Wujud)
Alam Perintah atau
Entitas-Entitas Tunak
(Alam Kawruhan)
Bentuk-Bentuk Kawruhan
(Jiwa Manusia)
Falak Universal
(Falak Luar)
Alam Ciptaan
(Alam Materiil)
Dari diagram ini dapat kita lihat bagaimana Mulla Shadra seperti halnya
para filosof Isyraqi lain melanjutkan tradisi Ibn Sina dan neo Platonisme
dengan variasivariasi yang lebih bersifat verbal atau semantic.
Pandangan yang sempurna yang diperkaya oleh Mulla Shadra dengan kutipan
ekstensif dari Al-Qur'an, Hadits, dan ucapan-ucapan Imam Syi'ah, memiliki
tujuan melindungi keyakinan tentang kebangkitan kembali. Melalui penyulingan
subtil ini, status raga yang tadinya kabur itu kini diasumsikan memiliki bentuk
etereal. Dan dalam kondisi seperti ini, raga dinyatakan identik dengan jiwa.
Etereal berasal dari bahasa Inggris ethereal, yaitu unsur sangat
halus yang memenuhi lapisan teratas luar angkasa.
diakses 11 desember 2016 pukul 21.19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar