Munculnya fenomena paham
keislaman yang amat beragam, tentunya memilki latar belakang kemunculannya ,
batasan dan ciri-ciri dari masing-masing gerakan pemikiran Islam yang muncul di
Indonesia. Masing-masing mempunyai corak dan wajah yang cukup beragama. Berikut
ini dikemukakan diantara corak pemikiran gerakan Islam kontemporer.
1. Islam Fundamentalis
Istilah Islam fundamentalis
dapat dimaknai Islam yang dalam pemahaman dan prakteknya bertumpu pada ha-hal
yang bersifat asasi atau mendasar. Pemahaman secara kebahasaan yang demikian
ini mengandung pengertian, bahwa yang dimaksutkan Islam fundamentalis adalah
gerakan atau paham yang bertumpu pada ajaran mendasar dalam Islam, teutama
terkait dengan rukun Islam dan Iman. Apabila diltinjau dari segi kebahasaan
ini, maka semua aliran atau paham yang menjadikan rukun Iman dan Islam sebagai
ajaran utama, maka mereka termasuk pada kelompok ini. Bahkan tiga aliran besar
di dunia, seperti Sunni, Syi’ah dan Ahmadiyah juga menjadikan ajaran tersebut
sebagai dasar pijakan dalam beragama. Disamping itu dalam konteks Indonesia,
dua paham keagamaan terbesar, seperti NU dan Muhammadiyah pun juga termasuk
dalam pengertian kebahasaan ini. Namun, persoalannya tidak semudah itu untuk
memasukkan beberapa kelompok paham keagamaan dalam Islam fundamentalis, karena
harus dilihat ciri-ciri dan ajaran pokok dalam gerakannya.
Sebenarnya istilah ini
muncul dikalangan masyarakat Kristen yang berkembang di Barat, yang dalam hal
pemahaman agamanya lebih bersifat mendasar, sempit dan dogmatis. Di Barat,
kelompok ini muncul sebagai reaksi terhadap teori evolusi manusia yang
dikemukakan oleh Charles Darwin. Dikalangan dunia Islam, istilah fundamentalis
lebih ditujukan kepada kelompok Islam garis keras. Pengertian kaum
fundamentalis, dari segi istilah bahkan akhirnya memiliki muatan psiokologis
dan sosiologis, dan berbeda dengan pengertian fundamentalis secara kebahasaan.
Pada masyarakat Muslim, istilah ini, ada kaitannya dengan masalah pertentangan
politik, sosial, politik dan kebudayaan. Istilah fundamentalisme ini pada
akhirnya menimbulkan citra tertentu, yaitu ekstrimisme, fanatisme, atau bahkan
terorisme dalam mewujudkan atau mempertahankan keyakinan agamanya, bahkan
mereka ini cenderung melakukan tindakan kekerasan.
Diantara ciri dari corak
Islam fundamentalis ini adalah sikap dan pandangan mereka yang radikal,
militan, berpikiran sempit, bersemangat secara berlebihan atau bahkan dalam
mencapai tujuannya dengan memakai cara-cara kekerasan. Menurut Kuntowijoyo,
corak pemikiran Islam fundamentalis ini ingin mengembalikan model kehidupan
umat islam seperti yang dilakukan oleh Rasulullah, baik dalam semua aspek
kehidupan, maupun dalam gaya hidup dan pakaiannya. Sikap dari gerakan ini lebih
nyata dalam fenomena kehidupan masyarakat Indonesia pada saat ini, yaitu
kelompok yang dalam perjuangannya memilih cara-cara kekerasan, radikal dan
mempunyai militansi yang tinggi. Sikap yang demikian ini menimbulakan pandangan
peyoratif dan terjadinya stigmatisasi terhadap Islam sendiri, yaitu Islam itu
identik dengan teroris. Tentu saja sebuah pandangan yang cukup memprihatikan,
karena hakekatnya Islam selalu mengajarkan kehidupan yang damai, Islam yang
bisa membawa rahmat bagi kehidupan umat manusia.
2. Islam Neo–Tradisionalis
Dalam konteks pemikiran
Islam Indonesia, sebelum munculnya istilah pemikiran neo-tradisionalisme adalah
munculnya kelompok tradisionalis. Menurut Abudian Nata, kelompok ini awalnya
ditujukan kepada mereka yang berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah, namun
kemudian juga ditujukan kepada mereka yang perpegang pada produk-produk
pemikiran para ulama yang dianggap unggul dan kokoh dalam keilmuan fiqh,
tafsir, teologi, tasawuf, lughah, ushul fiqh dan lainnya. Kemudian belakangan
ini munculah gerakan neo-tradisionalis, yang digagas oleh tokoh atau kelompok
yang hendak merubah paradigma berfikir tradisionalis. Istilah Neo-tradisionalis
terkadang didentikkan dengan Gus Dur. Sekalipun bukanlah satu-satunya.
Kenyataannya, beliau juga inspiratis dan penggiat gerakan neo-modernisme,
post-tradisionalisme, bahkan Islam liberal.
Sebagai pemikiran yang bertolak dari tradisi, neo-tradsionalisme
melihat bahwa Islam selaras dengan perkembangan kebudayaan lokal, sehingga
sangat menghargai multikulturalisme. Neo-tradsionalisme cenderung pada
kebudayaan lokal di mana Islam berkembang (living).
Kebudayaan Arab juga lokal sehingga Islam Arab semata-mata merupakan ekspresi
kebudayaan orang Arab, bukan Islam itu sendiri. Di samping itu, cenderung
berpandangan dan bersikap inklusif (terbuka) atas realitas social, sebagaimana
dikemukakan Marzuki Wahid.
Dalam persolan bernegara, kelompok ini melihat bahwa Islam
sama sekali tidak memiliki bentuk negara. Yang penting bagi Islam adalah etika
kemasyarakatan. Alasannya, Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang
definitif. Begitu juga dalam hal suksesi kekuasaan, Islam tidak memiliki bentuk
tetap. Terkadang memakai istikhlaf, bai’at (pengangkatan), dan ahli
halli wal aqdi, seperti dikemukakan Ahmad Amir Aziz, dalam bukunya Neo-Modernisme
Islam Di Indonesia. Untuk itu, umat Islam Indonesia harus dapat
menerima kesadaran dan wawasan kebangsaan sebagai realitas objektif dan tidak
perlu dipertentangkan.
Pemikiran Gus Dur yang sejalan dengan pemeikiran
neo-tradisionalis ini adalam terkait dengan gagasannya tentang pribumisasi
Islam. Beliau tidak sependapat kalau proses islamisasi di Indonesia diarahkan
pada proses Arabisasi, karena hanya akan membuat tercerabutnya masyarakat
Indonesia dari akar budaya sendiri. Pribumisasi Islam bukanlah jawanisasi atau
sinkretisme. Sebab, pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah
hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan norma demi budaya. Tetapi, agar
norma-norma itu menampung kebutuhan dari budaya, dengan menggunakan peluang
yang disediakan oleh variasi pemahaman nash (ketentuan) dengan tetap memberikan
peranan kepada ushul fiqh dan kaidah fiqh. Pernyataan Gus ini dapat dibaca
lebih lanjut, misalnya dalam bukuPemikiran
dan Peradaban Islam, yang
dususn oleh Aden Wijdan dkk, atau buku-buku yang mengunkap pemikiran Gus Dur.
3. Islam Neo-Modernis
Pada awalnya, sebenarnya
muncul istilah Islam modernis, yang mempunyai tujuan membawa Islam kepada agama
yang berkemajuan. Seperti halnya yang berlangsung di Barat, di dunia Islam,
gerakan Islam modernis ini muncul dalam rangka menyesuaikan paham-paham
keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Munculnya gerakan ini juga mewrupakan respon
terhadap berbagai keterbelakangan yang dialami umat Islam dalam bidang ekonomi,
pendidikan, kebudayaaan, politik dan lainnya. Keadaan yang demikian ini dirasa
tidak sejalan dengan semangat ajaran Islam, yang digambarkan bahwa Islam itu
mendorong kearah kemajuan, menjunjung tinggi ilmu pengetahuan,yang muaranya
membawa kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Namun faktanya justru umat
Islam mengalami masa keterbelakngan dan kemunduran. Inilah yang memunculkan
kegelisahan batin bagi para pemikir gerakan modern ini, untuk berusaha memahami
ajaran Islam secara kontekstual, agar ajaran islam itu bisa terwujud dalam
kehidupan masyarakat.
Kemudian, belakangan
munculah istilah Islam Neo-Modernis yang kira-kira mulai nampak pada era tahun
1970-an. Pada masa inilah corak pemikiran keislaman mulai dijangkiti gejala
baru atau pembaruan yang belakangan disebut “neo-modernisme”. Sosok Cak Nur,
misalnya dianggap sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana
neo-modernisme Islam Indonesia. Gerakan ini lebih menempatkan Islam sebagai
sebuah sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras dengan tafsir
serta tuntutan zaman yang kian dinamis. Watak pemikirannya yang lebih inklusif,
moderat, dan mengakui adanya kemajemukan dalam kehidupan, sehingga membentuk
sikap keagamaan yang menghargai timbulnya perbedaan.
Gerakan Islam neo-modernis
awalnya digagas oleh Fazlur Rahman, tokoh reformis asal Pakistan. Gerakan ini
cukup dinamis, bahkan radikal baik terhadap Barat maupun Islam sendiri. Fazlur
Rahman pernah mengatakan, bahwa neo-modernis harus mengembangkan sikap kritis
terhadap Baratmaupun warisan-warisan kesejarahan Islam sendiri. Kaum Muslim
harus mengkaji dunia Barat beserta gagasan-gagasannya maupun ajaran-ajaran
dalam sejarah keagamaan Islam sendiri, bila hal ini tidak dikaji secara
obyektif, maka keberhasilannya dalam menghadapi dunia modern merupakan suatu
hal yang mustahil bahkan kelangsungan kehidupannya sebagai Muslim sangat
diragukan. Gerakan ini muncul sebagai respon atas tuntutan zaman yang semakain
berkembang, namun kurang diantisipasi oleh berbagai pemikiran keislaman yang
mampu secara teoritis dan metodologis keislaman yang komprehensif dan rasional.
Seperti yang dikemukakan oleh Mohammad Muslih, bahwa secara umum
Islam neo-modernisme bisa dicirikan sebagai berikut: pertama,
neo-modernisme Islam merupakan gerakan kultural-intelektual yang muncul untuk
melakukan rekontruksi internal pada umat Islam dengan merumuskan lagi warisan
Islam secara lebih utuh, konprehensif, kontekstual dan universal. Kedua,
pada prinsipnya neo-modernisme muncul sebagai tindak lanjut atas usaha-usaha
pembaru kelompok modernis terdahulu, yang karena keterbatasan-keterbatasan
tertentu masih meninggalkan sejumlah masalah yang belum bisa diatasi. Ketiga,
dalam konteks keindonesiaan, kemunculan gerakan neo-modernisme Islam yang
dimotori oleh Cak Nur lebih merupakan kritik sekaligus solusi atas pandangan
dua arus utama yaitu Islam tradisionalis dan Islam modernis yang selalu berada
dalam pertarungan konseptual yang nyaris tidak pernah usai. Neo-modernisme
Islam hadir untuk menawarkan konsep-konsep pemikiran yang melampaui kedua arus
utama tersebut. Keempat, kemunculan neo-modernisme
Islam di Indonesia yang dimotori Cak Nur itu merupakan wacana awal gerakan
modernisasi dalam arti rasionalisasi, yaitu merombak cara kerja lama yang tidak aqliyah.
Pembaruan Cak Nur menyentuh wilayah yang luas, baik itu persoalan keagamaan,
sosial-politi, bahkan masalah pendidikan.
4. Islam liberal
Setelah gerakan Islam Neo-Modernis mengalami metamorfosis,
nampaknya pemikiran Islam semakin berkembang seiring dengan berkembangnya model
pemikiran, baik yang muncul di dunia Islam maupun di Barat. Hal ini juga yang
terjadi di Indonesia, bahwa setelah lebih dari 30 tahun gerakan pemikiran model
neo-modernisme mendapat tempat dalam konstelasi pemikiran Islam di Indonesia,
kemudian munculah gerakan “Islam liberal”. Istilah ini muncul ketika Greg
Barton menyebutnya dalam bukunya: Gagasan Islam Liberal di Indonesia.
Kira-kira tahun 2001, publikasi mazhab pemikiran ”Islam liberal” ini memang
tampak digarap sistematis, yang kemudian dikelola menjadi ”Jaringan Islam
Liberal” (JIL).
Muhammad Muslih menyebutkan, bahwa sebelum lahir JIL, wacana
Islam liberal beredar di meja-meja diskusi dan sederet kampus, akibat terbitnya
buku Islamic Liberalism(Chicago, 1988) karya Leonard
Binder, dan buku Liberal Islam (Oxford,
1998) hasil editan Charles Kurzman. Istilah Islam liberal pertama dipopulerkan
Asaf Ali Asghar Fyzee, intelektual muslim India, pada 1950-an. Kurzman sendiri
mengaku meminjam istilah itu dari Fyzee. Geloranya banyak diprakarsai anak-anak
muda usia, 20-35 tahun. Untuk kasus Jakarta, mereka umumnya para mahasiswa,
peneliti, atau jurnalis yang berkiprah di beberapa lembaga, semisal Paramadina,
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam
NU), IAIN Syarif Hidayatullah, atau Institut Studi Arus Informasi. Komunitas
itu makin mengkristal, sehingga pada Maret 2001 mereka mengorganisasikan diri
dalam JIL. Sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa
Pos Minggu,
berikut 51 koran jaringannya, dengan artikel dan wawancara seputar perspektif
Islam liberal. Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung dan diskusi
interaktif dengan para kontributor Islam liberal, lewat kantor berita radio 68
Hdan 10 radio jaringannya. Situs: islamlib.com diluncurkan, dua pekan kemudian.
Beberapa nama pemikir muda, seperti Luthfi Assyaukanie (Universitas Paramadina
Mulya), Ulil Abshar-Abdalla (Lakpesdam NU), dan Ahmad Sahal (jurnal Kalam),
terlibat dalam pengelolaan JIL. Luthfi Assyaukanie, editor situs islamlib.com, menyatakan bahwa lahirnya JIL sebagai
respons atas bangkitnya ”ekstremisme” dan ”fundamentalisme” agama di Indonesia.
Itu ditandai oleh munculnya kelompok militan Islam, perusakan gereja, lahirnya
sejumlah media penyuara aspirasi ”Islam militan”, serta penggunaan istilah
”jihad” sebagai dalil serangan.
Gerakan Islam Liberal ini
tentu saja banyak mendapatkan kritikan dari berbagai pihak, teruatama bagi
mereka yang ingin tetap menjaga ajaran Islam dari pengaruh paham-paham Barat
yang cenderung liberal dalam memahami teks agama. Pemikiran Islam Liberal telah
dianggap menodai ajaran islam, karena kitab suci dianggap sebagai produk
budaya, sehingga sakralitasnya pun menjadi nihil. Pemikiran Jacques Derida
dengan teori dekontruksi, nihilisme, strukturalisme ataupun Hermeneutika ala
Gadamer dan lain-lain, disamping juga pemikir Muslim Hassan Hanafi, Adonis,
Mahmud Muhammad Thaha, Nash Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur dan lainnya,
nampaknya amat mempengaruhi pemikiran kaum muda yang mempunyai kegelisahan
terhadap perkembangan dunia pemikiran Islam pada saat ini.
Bergulatnya dunia pemikiran dalam Islam ini tentu saja
menjadikan warna tersendiri bagi perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia.
Bahkan corak pemikiran yang disebutkan di atas kemungkinan masih ada yang
terasa kurang, karena belakangan juga muncul istilah post-tradisionalis
dan post-kolonialis. Semoga dengan bercengkerama dengan berbagai corak
pemikiran, menjadikan pola pemikiran kita tidak sempit, rigid dan cenderung
eksklusif. Semua pemikiran baik yang berupa teks agama hasil penafsiran manusia
merupakan produk pemikiran dan produk sejarah. Turas bukanlah kitab suci yang seakan
terjaga sakralitasnya.
diakses 11
desember 2016 pukul 21.46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar