Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah
al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan danalam
pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena
pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujud (disebut alam)
dari pancaran Wājib al-Wujud (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini
melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd
juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir
tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3
istilah yang disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat
atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal,
sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang
menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
· Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud
I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya
adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
· Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III
yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
· Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang
substansinya Akal III → Saturnus.
· Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang
substansinya Akal IV → Jupiter.
· Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang
substansinya Akal V → Mars.
· Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang
substansinya Akal VI → Matahari.
· Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang
substansinya Akal VII → Venus.
· Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang
substansinya Akal VIII → Mercury.
· Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya
Akal IX → Bulan.
· Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang
substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang
menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut
juga al-‘aql alfa’āl (akal aktif) yang bisaanya disebut Jibril yang berperan
sebagai wāhib alsuwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: 1) esensinya tidak
berfisik (baik yang tidak menempati fisik (yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal
Planet) maupun yang menempati fisik (yaitu jiwa, bentuk, dan materi). 2)
esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan,
barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan
tanah).
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal
dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat
accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa,
karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa
yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam
khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi. Jiwa manusia,
menurut al-Farabi, memiliki 3 daya:
· Daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghadiyah, nutrition),
memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah,
reproduction).
· Daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hassah, sensation) dan
imajinasi (mutakhayyilah, imagination).
· Daya berpikir (al-quwwah al-nathiqah, intellectual), berupa: akal praktis
(‘aql ‘amali) dan akal teoretis (‘aql nazhari).
Menurut Al-Farabi, Nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan
‘aql fa’āl (akal ke-10) yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai
pada tingkat ‘aql mustafād. Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu
berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa melalui latihan khusus karena mendapat
limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di
dalamnya ada daya imaginasi luar bisaa, berupa al-hads (semacam insight
khusus). Sementara filosof harus melalui latihan yang serius dan cukup lama.
Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filosof. Dan bisa juga
dikatakan bahwa setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi setiap filosof belum
tentu seorang nabi.
Sumber Bacaan
· Jamaluddin al-Qafthi, Akhbar al-‘Ulama bi Akhbar al-Hukama’,
Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.t.
· Naiati M Ustman. 2002. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim.
Bandung: Pustaka Hidayah
· Nasition Harun. 1973. Filsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang
· Soleh A Khudri. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
· Fakhry Majid. 2001. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan
· Hanafi Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
· http://Halid.nurislami.com
· http://www.nlm.nih.gov/hmd/arabic/E8.html
Sumber:
diakses 11 desember 2016 pukul 21.20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar