Orang yang berpikir filsafat paling
tidak harus mengindahkan ciri-ciri berpikir sebagai berikut:
1. Berpikir filsafat Radikal.
Yaitu berpikir sampai keakar-akarnya, sampai pada hakekat atau sustansi, esensi
yang dipikirkan. Sifat filsafat adalah radikal atau mendasar, bukan sekedar
mengetahui mengapa sesuatu menjadi demikian, melainkan apa sebenarnya sesuatu
itu, apa maknanya.
2. Berpikir filsafat Universal.
Yaitu berpikir kefilsafatan sebagaimana pengalaman umumnya.
Misalnya melakukan penalaran dengan
menggunakan rasio atau empirisnya, bukan menggunakan intuisinya. Sebab, orang
yang dapat memperoleh kebenaran dengan menggunakan intuisinya tidaklah umum di
dunia ini. Hanya orang tertentu saja.
3. Berpikir filsafat Konseptual.
Yaitu dapat berpikir melampaui batas pengalaman sehari-hari manusia, sehingga
menghasilkan pemikiran baru yang terkonsep.
4. Berpikir filsafat Koheren dan
Konsisten. Yaitu berpikir kefilsafatan harus sesuai dengan kaedah berpikir
(logis) pada umumnya dan adanya saling kait-mait antara satu konsep dengan konsep
lainnya.
5. Berpikir filsafat Sistematis. Yaitu
dalam berpikir kefilsafatan antara satu konsep dengan konsep yang lain memiliki
keterkaitan berdasarkan azas keteraturan untuk mengarah suatu tujuan tertentu.
6. Berpikir filsafat
Komprehensif. Yaitu dalam berpikir filsafat, hal, bagian, atau
detail-detail yang dibicarakan harus mencakup secara menyeluruh sehingga tidak
ada lagi bagian-bagian yang tersisa ataupun yang berada diluarnya.
7. Berpikir filsafat Bebas. Yaitu
dalam berpikir kefilsafatan tidak ditentukan, dipengaruhi, atau intervensi oleh
pengalaman sejarah ataupun pemikiran-pemikiran yang sebelumnya, nilai-nilai
kehidupan social budaya, adat istiadat, maupun religious.
8. Berpikir filsafat Bertanggungjawab. Yaitu
dalam berpikir kefilsafatan harus bertanggungjawab terutama terhadap hati
nurani dan kehidupan sosial.
B. Penalaran
1. Hakikat Penalaran
Penalaran merupakan suatu kegiatan
berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.
Penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa
pengetahuan.
2. Ciri-ciri Penalaran
1.
Adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika (penalaran
merupakan suatu proses berpikir logis).
2.
Sifat analitik dari proses berpikir. Analisis pada hakikatnya merupakan
suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu. Perasaan intuisi
merupakan cara berpikir secara analitik.
Cara berpikir masyarakat dapat dibagi
menjadi 2, yaitu : Analitik dan Non analitik. Sedangkan jika ditinjau dari
hakekat usahanya, dapat dibedakan menjadi : Usaha aktif manusia dan apa yang
diberikan.
Penalaran Ilmiah sendiri dapat dibagi
menjadi 2, yaitu :
1.
Deduktif yang berujung pada rasionalisme
2.
Induktif yang berujung pada empirisme
C. Logika
Logika berasal dari bahasa Yunani yaitu LOGOS yang
berarti ilmu. Logika pada dasarnya filsafat berpikir. Berpikir
berarti melakukan suatu tindakan yang memiliki suatu tujuan. Jadi pengertian
Logika adalah ilmu berpikir / cara berpikir dengan berbagai tindakan yang
memiliki tujuan tertentu.
·
Logika induksi : Cara berfikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
·
Logika deduktif : Cara berfikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum
ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
D. Teori Kebenaran
1.
Teori kebenaran Korespondensi. Yaitu pengetahuan
mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian
dengan obyek atau kenyataan yang diketahui. Contoh: Gigi berada didalam mulut,
tidak dikaki.
2.
Teori kebenaran Koherensi. Yaitu
pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai hubungan
dengan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya dan dinyatakan pula bernilai
benar.
3.
Teori kebenaran Pragmatis. Yaitu pengetahuan
bernilai benar apabila pengetahuan itu dinyatakan dapat dipergunakan dalam
kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam hal ini kebenaran pragmatis tidak
mempermasalahkan pentingnya hakikat kebenaran, tetapi yang lebih diutamakan
adalah tentang berguna atau tidaknya suatu pengetahuan itu. Contoh: Pena
dianggap benar bila dapat digunakan untuk menulis.
4.
Teori kebenaran Sintaksis. Yaitu
pengetahuan atau pernyataan dapat bernilai benar apabila pengetahuan atau
pernyataan itu tersusun sedemikian rupa sesuai dengan aturan tata bahasa yang
berlaku. Contoh: adanya perbedaan makna antara kalimat ‘seorang dokter
mengoperasi pasien di ruang operasi’ dan ‘seorang dokter mengoperasi, pasien di
ruang operasi’. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan susunan kalimat.
5.
Teori kebenaran Semantis. Yaitu suatu
pengetahuan atau pernyataan bernilai benar apabila pengetahuan atau pernyataan
itu memiliki arti dengan menunjukkan makna yang sesungguhnya berdasarkan
kenyataan atau hal yang diacu. Contoh: meja tulis, meja makan, meja computer,
dsb.
6.
Teori kebenaran Non-Deskripsi. Yaitu suatu
pengetahuan atau pernyataan bernilai benar apabila pengetahuan atau pernyataan
itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari yang
merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakannya. Contoh: Petani menanam
jagung (tapi sebenarnya yang ditanam adalah bibit jagung, untuk diharapkan
menjadi jagung nantinya).
7.
Teori kebenaran Logis yang berlebihan. Yaitu suatu
pengetahuan atau pernyataan sudah bernilai benar dengan sendirinya.Contoh:
Lingkaran adalah bulat, maju ke depan, mundur ke belakang, dan sebagainya.
E. Sumber Pengetahuan
Sumber pengetahuan dalam dunia ini
berawal dari sikap manusia yang meragukan setiap gejala yang ada di alam
semesta ini. Manusia tidak mau menerima saja hal-hal yang ada termasuk nasib
dirinya sendiri. Rene Descarte pernah berkata “DE OMNIBUS DUBITANDUM” yang
mempunyai arti bahwa segala sesuatu harus diragukan. Persoalan mengenai
criteria untuk menetapkan kebenaran itu sulit dipercaya. Dari berbagai aliran
maka muncullah pula berbagai kriteria kebenaran.4
Pengetahuan bukanlah sekedar pertemuan
antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui, tetapi pengetahuan
adalah persatuan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui.
Namun dalam pertemuan ini subyek tidak melebur jadi obyek, atau sebaliknya
obyek tidak melebur jadi subyek.
Dalam kehidupan sehari-hari, pengertian
tentang pengetahuan dibedakan orang menjadi pengetahuan biasa atau pengetahuan
sehari-hari dan pengetahuan yang disebut ilmu atau ilmu pengetahuan.
Pengetahuan biasa tidak memiliki syarat-syarat tertentu. Sedangkan ilmu
pengetahuan memiliki persyaratan tertentu, yakni : Bersifat
obyektif; Bersifat universal; Memiliki metode; Sistematis
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995.
Huijbers, Theo Filsafat Hukum Dalam Lintasan
Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum,
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990, halaman.
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah
Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro,
Semarang, 1997.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I,
Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.
Sumber :
http://cahayamentari24.blogspot.co.id/2012/10/berfikir-filsafat.html
diakses 11 desember 2o16 pukul 21. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar