Metafisika: Hakikat Realitas.
Jika filsuf Idealisme menekankan pikiran.jiwa/spirit/roh sebagai hakikat
realitas, sebaliknya menurut para filsuf Realisme bahwa dunia
terbuat dari sesuatu yang nyata, substansial dan material yang hadir dengan
sendirinya (entity). Di dunia atau di alam tersebut terdapat hukum-hukum alam
yang menentukan keteraturan dan keberadaan setiap yang hadir dengan sendirinya
dari alam itu sendiri (Callahan and Clark, 1983). Realitas hakikatnya bersifat
objektif, artinya bahwa realitas berdiri sendiri, tidak
tergantung atau tidak bersandar kepada pikiran/jiwa/spirit/roh.
Namun demikian, mereka tetap mengakui keterbukaan realitas terhadap
pikiran untuk dapat mengetahuinya. Hanya saja realitas atau dunia itu
bukan/berbeda dengan pikiran atau keinginan manusia.
Hakikat Manusia . Manusia
adalah bagian dari alam, dan ia muncul di alam sebagai hasil puncak dari mata
rantai evolusi yang terjadi di alam. Hakikat manusia didefinisikan
sesuai dengan apa yang dapat dikerjakannya. Pikiran (jiwa) adalah suatu
organisme yang sangat rumit yang mampu berpikir. Namun, sekalipun manusia mampu
berpikir ia bisa bebas atau tidak bebas (Edward J. Power, 1982). Manusia dan
masyarakat adalah bagian dari alam. Karena di alam semesta terdapat hukum alam
yang mengatur dan mengorganisasikannya, maka untuk tetap survive dan bahagia
tugas dan tujuan manusia adalah menyesuaikan diri terhadap hukum-hukum alam,
masyarakatnya dan kebudayaannya.
Epistemologi: Hakikat Pengetahuan.
Ketika lahir, jiwa atau pikiran manusia adalah kosong. Saat
dilahirkan manusia tidak membawa pengetahuan atau ide-ide bawaan, John
Locke mengibaratkan pikiran/jiwa manusia sebagai tabula rasa (meja
lilin/kertas putih yang belum ditulisi) . Pengetahuan
diperoleh manusia bersumber dari pengalaman indra. Manusia dapat
menggunakan pengetahuannya dalam berpikir untuk menemukan objek-objek serta
hubungan-hubungannya yang tidak ia persepsi (Callahan and Clark, 1983).
Mengingat realitas bersifat objektif, maka terdapat dualisme antara orang yang
mengetahui dengan realitas yang diketahui. Implikasinya, para filsuf
Realisme menganut “prinsip
independensi” yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang realitas
tidak dapat mengubah substansi atau esensi realitas. Karena realitas
bersifat material dan nyata, maka kebenaran pengetahuan diuji dalam
kesesuaiannya dengan fakta di dalam dunia material atau pengalaman dria. Teori
uji kebenaran ini dikenal sebagai Teori Korespondensi. Contoh: Apabila seseorang
mengatakan bahwa rasa gula adalah manis, untuk mengetahui kebenaran
pengetahuan / pernyataan tersebut harus diuji melalui pengalaman,
misalnya dengan mencicipi gula.
Jika dari pengalaman mencicipi
gula ternyata gula itu rasanya manis, maka pengetahuan itu benar. Atas
dasar prinsip independensi dan teori korespondensi, maka pengetahuan mungkin
saja berubah. Apa yang dulu dinyatakan benar mungkin sat ini dinyatakan salah,
atau mungkin pula sebaliknya sesuai dengan hasil pengalaman empiris yang didapat.
Sebab itu, epistemologi demikian dikenal pula sebagai Empirisme atau
Objektivisme.
Aksiologi: Hakikat Nilai .
Karena manusia adalah bagian dari alam, maka ia pun harus tunduk kepada
hukum-hukum alam, demikian pula masyarakat. Hal ini sebagaimana dikemukakan
Edward J. Power (1982) bahwa: “Tingkah laku manusia diatur oleh hukum
alam, dan pada tingkat yang lebih rendah diuji melalui konvensi atau kebiasaan,
dan adat istiadat di dalam masyarakat”. “Nilai-nilai individual dapat diterima
apabila sesuai dengan nilai-nilai umum masyarakatnya. Pendapat umum
masyarakat merefleksikan status quo realitas masyarakat; dan karena realitas
masyarakat merepresentasikan kebenaran yang adalah ke luar dari mereka sendiri,
serta melebihi pikiran, maka hal itu berguna sebagai suatu standar untuk
menguji validitas nilai-nilai individual” (Callahan and Clark, 1983).
Diakses 10.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar