Kamis, 08 Desember 2016

Filsafat Pendidikan Realisme


Metafisika: Hakikat Realitas.  Jika filsuf Idealisme menekankan pikiran.jiwa/spirit/roh sebagai hakikat realitas, sebaliknya menurut para filsuf Realisme   bahwa dunia terbuat dari sesuatu yang nyata, substansial dan material yang hadir dengan sendirinya (entity). Di dunia atau di alam tersebut terdapat hukum-hukum alam yang menentukan keteraturan dan keberadaan setiap yang hadir dengan sendirinya dari alam itu sendiri (Callahan and Clark, 1983). Realitas hakikatnya bersifat objektif, artinya bahwa  realitas   berdiri sendiri, tidak tergantung atau tidak bersandar kepada pikiran/jiwa/spirit/roh.   Namun demikian,  mereka tetap mengakui keterbukaan realitas terhadap pikiran untuk dapat mengetahuinya. Hanya saja realitas atau dunia itu bukan/berbeda dengan pikiran atau keinginan manusia.  
Hakikat Manusia .  Manusia adalah bagian dari alam, dan ia muncul di alam sebagai hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam.   Hakikat manusia didefinisikan sesuai dengan apa yang dapat dikerjakannya. Pikiran (jiwa) adalah suatu organisme yang sangat rumit yang mampu berpikir. Namun, sekalipun manusia mampu berpikir ia bisa bebas atau tidak bebas (Edward J. Power, 1982). Manusia dan masyarakat adalah bagian dari alam. Karena di alam semesta terdapat hukum alam yang mengatur dan mengorganisasikannya, maka untuk tetap survive dan bahagia tugas dan tujuan manusia adalah menyesuaikan diri terhadap hukum-hukum alam, masyarakatnya dan kebudayaannya.  

Epistemologi: Hakikat Pengetahuan. Ketika lahir, jiwa atau pikiran  manusia  adalah  kosong. Saat dilahirkan manusia tidak membawa pengetahuan atau ide-ide bawaan,  John Locke mengibaratkan pikiran/jiwa manusia  sebagai tabula rasa (meja lilin/kertas putih yang belum ditulisi) .    Pengetahuan  diperoleh  manusia  bersumber dari pengalaman indra. Manusia dapat menggunakan pengetahuannya dalam berpikir untuk menemukan objek-objek serta hubungan-hubungannya yang tidak ia persepsi (Callahan and Clark, 1983). Mengingat realitas bersifat objektif, maka terdapat dualisme antara orang yang mengetahui dengan realitas yang diketahui. Implikasinya, para filsuf 
Realisme menganut  “prinsip independensi”  yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang realitas tidak dapat mengubah substansi atau esensi realitas.  Karena realitas bersifat material dan nyata, maka kebenaran pengetahuan diuji dalam kesesuaiannya dengan fakta di dalam dunia material atau pengalaman dria. Teori uji kebenaran ini dikenal sebagai Teori Korespondensi. Contoh: Apabila seseorang mengatakan bahwa rasa gula adalah manis,  untuk mengetahui kebenaran pengetahuan / pernyataan  tersebut harus diuji melalui pengalaman, misalnya dengan mencicipi gula. 
Jika dari pengalaman mencicipi gula  ternyata gula itu rasanya manis, maka pengetahuan itu benar. Atas dasar prinsip independensi dan teori korespondensi, maka pengetahuan mungkin saja berubah. Apa yang dulu dinyatakan benar mungkin sat ini dinyatakan salah, atau mungkin pula sebaliknya  sesuai dengan hasil pengalaman empiris yang didapat. Sebab itu, epistemologi demikian dikenal pula sebagai Empirisme atau Objektivisme.   
Aksiologi: Hakikat Nilai .  Karena manusia adalah bagian dari alam, maka ia pun harus tunduk kepada hukum-hukum alam, demikian pula masyarakat. Hal ini sebagaimana dikemukakan Edward J. Power (1982) bahwa:  “Tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada tingkat yang lebih rendah diuji melalui konvensi atau kebiasaan, dan adat istiadat di dalam masyarakat”. “Nilai-nilai individual dapat diterima apabila sesuai dengan nilai-nilai umum  masyarakatnya. Pendapat umum masyarakat merefleksikan status quo realitas masyarakat; dan karena realitas masyarakat merepresentasikan kebenaran yang adalah ke luar dari mereka sendiri, serta melebihi pikiran, maka hal itu berguna sebagai suatu standar untuk menguji validitas nilai-nilai individual” (Callahan and Clark, 1983).


 Diakses 10.30


Tidak ada komentar:

Posting Komentar