Filsuf di awal abad pertengahan Eropa,
yakni Agustinus, telah melihat perbedaan antara dua macam waktu, yakni waktu
subyektif dan waktu obyektif. Waktu subyektif adalah waktu yang kita rasakan di
dalam batin kita. Sementara, waktu obyektif adalah waktu sebagai mana tertera di
dalam jam dan kalender. Ia adalah hari, jam dan tanggal yang digunakan sebagai
panduan oleh banyak orang di dalam hidupya.
Waktu subyektif dan waktu obyektif
berjalan dengan logika yang berbeda. Satu jam terkena macet di jalan dan satu
jam bersama kekasih tercinta memiliki rasa yang amat berbeda. Secara obyektif,
keduanya sama, yakni satu jam. Namun, secara subyektif, keduanya amatlah
berbeda.
Di masa awal perkembangan ilmu
pengetahuan modern di Eropa, pandangan tentang waktu subyektif pun
disingkirkan. Yang tersisa kemudian adalah pandangan tentang waktu yang
obyektif. Di sini, waktu dipandang sebagai sesuatu yang ada secara mandiri di
luar diri manusia. Ia adalah bagian nyata dari alam yang bisa diukur.
Pandangan ini kemudian dikritik oleh
Immanuel Kant, filsuf Pencerahan asal Jerman. Ia berpendapat, bahwa waktu
adalah bagian dari akal budi manusia. Ia tidak berada di alam, melainkan di
dalam pikiran manusia. Sebagai bagian dari pikiran manusia, waktu membantu
manusia sampai pada pengetahuan tentang dunia.
Di dalam filsafatnya, Kant sudah
menegaskan, bahwa waktu selalu terkait dengan ruang. Keduanya adalah bagian
dari pikiran manusia. Pandangan ini dikembangkan selanjutnya oleh Albert
Einstein. Ia melihat, bahwa waktu tidak pernah bisa dipisahkan dari ruang. Maka
dari itu, ia merumuskan konsep ruang-waktu untuk menegaskan maksudnya.
Pada awal abad 20, Filsafat Barat
menimba banyak sekali pemikiran dari Filsafat Timur, terutama tradisi Taoisme
dan Buddhisme yang berkembang di Cina dan India. Di dalam Filsafat Timur, waktu
dilihat sebagai persepsi manusia. Ia tidak bisa dipisahkan dari kedirian
manusia itu sendiri.
Pandangan semacam ini sudah mengakar
begitu dalam di dalam tradisi Cina dan India. Mereka melihat, bahwa waktu tak
bisa dilepaskan dari pikiran manusia. Maka dari itu, bisa juga dirumuskan,
bahwa waktu adalah aku. Jika Einstein melihat kaitan tak terpisahkan antara
ruang-waktu, maka Filsafat Timur melihat kaitan yang tak terpisahkan antara
aku-waktu.
Peradaban Eropa melihat waktu sebagai
sesuatu yang linear, yakni sesuatu yang bergerak lurus. Ia terdiri dari masa
lalu, masa kini dan masa depan. Ketiganya dilihat sebagai tiga hal yang
berbeda, walaupun saling berhubungan. Jika masa lalu sudah lewat, maka ia
sudahlah berlalu, dan tak akan bisa kembali lagi.
Pandangan ini menjadi akar dari slogan
yang populer tentang waktu, bahwa waktu adalah uang. Artinya, waktu adalah
sumber daya yang bisa habis dipakai. Jika kita menggunakan waktu kita secara
tidak produktif, maka kita seperti membuang uang saja. Pandangan waktu sebagai
sesuatu yang lurus dan terbatas layaknya sumber daya inilah yang membuat kita
merasa terus dikejar oleh waktu, dan memacu diri kita terus menerus untuk
mewujudkan rencana-rencana kita dalam rentang waktu tertentu.
Namun, pandangan ini tidak universal.
Ada pandangan yang lain tentang waktu, yakni waktu sebagai lingkaran. Ia tidak
lurus, dan tidak terbagi terpisah antara masa lalu, masa kini dan masa depan.
Di dalam pandangan waktu sebagai lingkaran, segala sesuatu akan berulang, dan
membentuk pola yang tetap. Waktu bukanlah sumber daya yang terbatas.
Sebaliknya, ia tak terbatas, dan akan menciptakan dirinya sendiri
berulang-ulang tanpa henti.
Martin Heidegger, filsuf Jerman di awal
abad 20, menimba pemikiran dari kedua tradisi tersebut. Baginya, waktu adalah
horison hidup manusia. Dalam arti ini, manusia adalah mahluk yang mampu
mempertanyakan dasar dari seluruh kenyataan yang ada. Ia berada di dalam
kenyataan, dan selalu hidup di dalam tiga kategori waktu yang terjadi secara
bersamaan, yakni masa lalu, masa kini dan masa depan.
Jadi, ketika kita berpikir, kita secara
otomatis berpikir dalam tiga waktu yang berbeda, yakni masa lalu, masa kini dan
masa depan. Ketiga kategori itu selalu hidup di dalam diri kita. Pertanyaan
kritisnya adalah, apakah pandangan Heidegger ini bisa dipertanggungjawabkan?
Apakah masa lalu dan masa depan memiliki keajegan yang sama dengan masa kini
yang sedang kita alami?
Sumber:
https://rumahfilsafat.com/2014/12/06/aku-dan-waktu/
Diakses
tanggal 10 desember 2016 pukul 22.4o
Oleh Reza A.A Wattimena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar