Minggu, 11 Desember 2016

Perisai dalam Wujud Tanggung Jawab Etis Ilmuwan


Ilmuwan Bintarto  pernah menuturkan sebuah kutipan yang diambilnya dari Ensiklopedi Indonesia terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve bahwa ‘intisari dari filsafat adalah cara berfikir menurut logika dengan bebas sedalam-dalamnya sampai ke dasar persoalannya’. Sementara itu, manusia terdorong untuk menemukan suatu orientasi hidup yang dapat memberikan arah dan pegangan bagi perbuatan serta perilakunya. Orientasi ini adalah filsafat dalam bentuknya yang masih pra-ilmiah.[8]
Filsafat bersifat universal karena objek kajiannya berkaitan erat dengan seluruh kenyataan (realitas). Dengan kata lain, pandangan filsafat terhadap segala sesuatu ditempatkan pada latar belakang arti seluruh realitas manusia. Apabila disesuaikan dengan objek kajiannya, maka filsafat dapat meliputi beberapa cabang, seperti filsafat manusia, filsafat pengetahuan, filsafat ketuhanan, dan sebagainya.[9]
Ketika masalah dekadensi moral yang menjadi objek kajian dalam filsafat, maka cabang filsafatnya adalah filsafat moral atau etika. Selain itu, karena dekandensi moral sendiri dalam tulisan ini ditelisik sebagai pengaruh negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka cabang filsafat lainnya yang terkait filsafat ilmu pengetahuan, terutama bagian aksiologinya.

Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil karya ilmuwan secara individual yang kemudian disosialisasikan kepada masyarakat. Peranan ilmuwan inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan mampu mengubah wajah peradaban. Kreativitas ilmuwan yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berjalan sangat efektif .

Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka seorang ilmuwan harus memiliki kepekaan dan tanggung jawab besar terhadap pelbagai konsekuensi etis ilmu pengetahuan dan teknologinya. Sebab dialah satusatunya orang yang dapat mengikuti dari dekat perkembanganperkembangan yang konkret. Namun memang seorang ilmuwan sebenarnya tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah penyalahgunaan hasil penemuannya. Manusia tampaknya tetap cenderung untuk menciptakan pedang yang bermata dua, yaitu satu dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan, mata yang lain dipakai untuk mendatangkan kerusakan.
Tanggung jawab etis bukanlah berkeinginan untuk mencampuri atau bahkan ‘menghancurkan’ otonomi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, yang sekaligus akan lebih memperkukuh eksistensi manusia.[10]
Tanggung jawab etis yang dipikul seorang ilmuwan bukan saja karena dia adalah anggota masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Untuk membahas ruang lingkup yang menjadi tanggung jawab etis seorang ilmuwan, maka hal ini dapat dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Sering terdengar bahwa ilmu pengetahuan beserta teknologinya itu terbebas dari sistem nilai. Ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri netral dan para ilmuwanlah yang memberikan nilai. Dalam hal ini maka masalah apakah ilmu pengetahuan dan teknologi itu terikat atau bebas dari nilai-nilai tertentu, semua itu tergantung kepada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan dan bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan.[11]
Bebas nilai dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu masalah yang melibatkan persoalan filosofis, yakni aksiologi (nilai/value). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan pelbagai pertimbangan mengenai apa yang dinilai dan apa yang seharusnya dinilai. Nilai dalam pengertian ini adalah suatu penilaian yang dilakukan oleh ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya. Penilaian dapat muncul dari orang lain, lembaga pendidikan, agama, dan juga dari dalam diri ilmuwan sendiri terhadap apa yang telah dihasilkannya. Bebas nilaikah atau tidak bebas nilaikah kegiatan ilmiah yang telah dihasilkan seorang ilmuwan?
Selama ia masih berada dalam ruang kerja ilmiahnya (seperti laboratorium), maka ia masih merasakan adanya bebas nilai. Ia tetap dapat memusatkan perhatian pada kegiatan ilmiahnya tanpa memperoleh halangan dari berbagai unsur luar. Namun, apabila telah keluar dari ruang kerja ilmiahnya kedalam masyarakat, maka hasil kerjanya berupa ilmu dan teknologi akan diuji oleh pandangan-pandangan masyarakat, lembaga, atau pun agama. Hasil kerjanya diuji apakah telah sesuai dengan peraturan pemerintah, norma adat, dan sebagainya. Ilmuwan dengan hasil karya ilmiah menjadi tidak bebas nilai.
Sebagai contoh menarikadalah masalah kloning terhadap manusia. Ketika ilmuwan berada dalam ruang kerjanya, ia mungkin mampu bekerja secara idealis tanpa sesuatu nilai pun yang akan mengaturnya. Akan tetapi, apabila hasil kerjanya disosialisasikan, maka akan terjadi kegemparan. Akan terjadi pro dan kontra. Hasil kerja ilmiah tersebut akan berhadapan banyak nilai yang ada dalam masyarakat. Kloning manusia akan dipandang sebagai kegiatan yang bukan saja mengarah kepada dekadensi moral, namun juga dehumanisasi.
Pada masalah seperti di atas, maka peranan ilmuwan menjadi sesuatu yang imperatif. Dialah yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup untuk dapat menempatkan masalah tersebut pada proporsi yang sebenarnya. Oleh sebab itu, dia mempunyai kewajiban untuk menyampaikan hal itu kepada masyarakat banyak dalam bahasa yang dapat mereka cerna. Menghadapi masalah yang kurang mereka mengerti biasanya masyarakat bersikap ekstrim. Pada satu pihak mereka bisu karena ketidaktahuan mereka, sedangkan di pihak lain mereka bersikap radikal dan irasional. Tanggung jawab seorang ilmuwan dalam hal ini adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan ruginya, baik dan buruknya; sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan (Suriasumantri, 1998: 239-241).
Pada bidang lain mungkin terjadi bahwa masalah itu baru akan timbul yang disebabkan proses yang sekarang sedang berjalan. Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan terjadi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi kita di masa depan berdasarkan proses pendidikan keilmuan sekarang. Apakah sistem pendidikan kita memungkinkan negara kita mengejar keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di masa yang akan datang? Sekiranya tidak maka apakah yang harus kita lakukan? Kerugian apakah yang akan timbul sekiranya tindakan pencegahan tidak dilakukan?       Demikianlah pertanyaan yang serupa dapat dikemukakan dalam berbagai bidang.
Kemampuan analisis seorang ilmuwan mungkin pula menemukan alternatif dari objek permasalah yang sedang menjadi pusat perhatian. Kemampuan analisis seorang ilmuwan dapat dipergunakan untuk mengubah kegiatan non-produktif menjadi kegiatan produktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak (Suriasumantri, 1998: 241).
Penelitian Penerapan di masyarakat Nilai-nilai: adat istiadat, agama, ideolgi Hasil penelitian Tidak bebas nilai Hasil Bebas nilai Teoritis penelitianSingkatnya, dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan  harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat ilmuwan yang elitis, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu maka dia bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.
Sebuah kutipan menarik dalam buku Pengantar Filsafat karya Louis O Kattsoff. Dalam bahasa analogis, Kattsof (2004: 3) menjelaskan bahwa meskipun filsafat ‘tidak membuat roti’, namun filsafat dapat menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambah jumlah bumbunya secara layak, dan mengangkat roti itu dari tungkunya pada waktu yang tepat. Filsafat berperan untuk mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan menerbitkan serta mengatur semua itu di dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa manusia kepada pemahaman, dan pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih layak.
Suatu kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak berjasa untuk membantu manusia dalam kehidupan kesehariannya. Akan tetapi, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diabaikan begitusaja pula adanya pengaruh negatif dari keduanya berupa menurunnya atau bahkan   nilai-nilai moral.
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan dan teknologi juga berpengaruh negatif pada terjadinya dekadensi moral. Pengaruh negatif yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak seharusnya membuat manusia pesimis bahkan menyerah terhadap perkembangan tersebut. Manusia tidak seharusnya hanya mengekor kepada ilmu pengetahuan dan teknologi dan menjadi budak
keduanya. Ilmu pengetahuan dan teknologilah yang seharusnya berada di tangan manusia atau berada di bawah kendali manusia. Kemampuan berpikir dan berimajinasi manusia dalam wujud ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dihentikan, dibendung, atau dimatikan, namun barangkali dapat dikontrol agar tidak kebablasan. Manusia harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya. Tanggung jawab bukan saja dalam arti normatif, namun juga dalam arti kedudukan manusia itu di antara manusia-manusia lain. Berbicara mengenai tanggung jawab secara tidak langsung berbicara mengenai manusia yang mempraktikkannya, menerapkan, dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Jari telunjuk kita dengan mudah menunjuk kepada oknum yang terkait langsung dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yakni para ilmuwan. Para ilmuwan  memang memiliki tanggung jawab etis untuk mengarahkan agar perjalanan ilmu pengetahuan dan teknologi tetap pada ‘orbitnya’. Mereka harus berusaha untuk menemukan suatu orientasi hidup yang dapat memberikan arah dan pegangan bagi perbuatan serta perilaku dirinya pribadi dan masyarakat kebanyakan.



Daftar Pustaka.
Bintarto, R.1994. Ekologi Manusia IL-614: Hand Out Kuliah Ekologi Manusia untuk S2 Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Programme Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Budianto, Irmayanti M 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Gensler, Harry J 1998. Ethics: A Contemporary Introduction. London and NewYork.
 , Abbas dan Koento Wibisono. 1986. “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya. Slamet Sutrisno (ed.). Yogyakarta: Liberty.
Kattsof, Louis O 2004. Elements of Philosophy atau Pengantar Filsafat, Soejono Soemargono (penerjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Suriasumantri, Jujun S 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia: Kajian Filsafat Ilmu. Yogyakarta: LESFI








[1] Abbas Hamami dan Koento Wibisono. 1986. “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya. Slamet Sutrisno (ed.). Yogyakarta: Liberty.halm. 123-124
[2] Bintarto, R.1994. Ekologi Manusia IL-614: Hand Out Kuliah Ekologi Manusia untuk S2 Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Programme Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.Hlm. 39

[3] Irmayanti M Budianto,  2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.halm. 15-16.
[4] Abbas Hamami dan Koento Wibisono. 1986. “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya. Slamet Sutrisno (ed.). Yogyakarta: Liberty.halm. 127
[5] Jujun Suriasumantri, S 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 229-231

[7] Jujun Suriasumantri, S 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 231-232
[8] Bintarto, R 1994. Ekologi Manusia IL-614: Hand Out Kuliah Ekologi Manusia untuk S2 Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Programme Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.hlm. 40

[9] Ibid,hlm.40
[10] Achmad Charris  Zubair,. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan
Manusia: Kajian Filsafat Ilmu. Yogyakarta: LESFI.hlm. 49-50

[11] Jujun S Suriasumantri,  1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.hlm. 239



http://khin791.blogspot.co.id/2014/02/pengaruh-pemikiran-filsafat-terhadap.html
Diakses 11 desember 2016 pukul 08.09



Tidak ada komentar:

Posting Komentar