Ilmuwan Bintarto pernah
menuturkan sebuah kutipan yang diambilnya dari Ensiklopedi Indonesia terbitan
PT Ichtiar Baru Van Hoeve bahwa ‘intisari dari filsafat adalah cara berfikir
menurut logika dengan bebas sedalam-dalamnya sampai ke dasar persoalannya’.
Sementara itu, manusia terdorong untuk menemukan suatu orientasi hidup yang
dapat memberikan arah dan pegangan bagi perbuatan serta perilakunya. Orientasi
ini adalah filsafat dalam bentuknya yang masih pra-ilmiah.[8]
Filsafat bersifat universal karena
objek kajiannya berkaitan erat dengan seluruh kenyataan (realitas). Dengan kata
lain, pandangan filsafat terhadap segala sesuatu ditempatkan pada latar
belakang arti seluruh realitas manusia. Apabila disesuaikan dengan objek
kajiannya, maka filsafat dapat meliputi beberapa cabang, seperti filsafat
manusia, filsafat pengetahuan, filsafat ketuhanan, dan sebagainya.[9]
Ketika masalah dekadensi moral yang
menjadi objek kajian dalam filsafat, maka cabang filsafatnya adalah filsafat
moral atau etika. Selain itu, karena dekandensi moral sendiri dalam tulisan ini
ditelisik sebagai pengaruh negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka cabang filsafat lainnya yang terkait filsafat ilmu pengetahuan,
terutama bagian aksiologinya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan
hasil karya ilmuwan secara individual yang kemudian disosialisasikan kepada
masyarakat. Peranan ilmuwan inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu
pengetahuan dan mampu mengubah wajah peradaban. Kreativitas ilmuwan yang
didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berjalan sangat efektif .
Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi, maka seorang ilmuwan harus memiliki kepekaan dan tanggung jawab
besar terhadap pelbagai konsekuensi etis ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Sebab dialah satusatunya orang yang dapat mengikuti dari dekat
perkembanganperkembangan yang konkret. Namun memang seorang ilmuwan sebenarnya
tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah penyalahgunaan hasil penemuannya.
Manusia tampaknya tetap cenderung untuk menciptakan pedang yang bermata dua,
yaitu satu dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan, mata yang lain dipakai
untuk mendatangkan kerusakan.
Tanggung jawab etis bukanlah
berkeinginan untuk mencampuri atau bahkan ‘menghancurkan’ otonomi ilmu
pengetahuan dan teknologi, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, yang sekaligus akan
lebih memperkukuh eksistensi manusia.[10]
Tanggung jawab etis yang dipikul
seorang ilmuwan bukan saja karena dia adalah anggota masyarakat yang
kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah
karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.
Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara
individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Untuk membahas ruang lingkup yang
menjadi tanggung jawab etis seorang ilmuwan, maka hal ini dapat dikembalikan
kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Sering terdengar bahwa ilmu
pengetahuan beserta teknologinya itu terbebas dari sistem nilai. Ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri netral dan para ilmuwanlah yang
memberikan nilai. Dalam hal ini maka masalah apakah ilmu pengetahuan dan
teknologi itu terikat atau bebas dari nilai-nilai tertentu, semua itu
tergantung kepada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan dan bukan kepada
proses keilmuan secara keseluruhan.[11]
Bebas nilai dalam ilmu pengetahuan
merupakan suatu masalah yang melibatkan persoalan filosofis, yakni aksiologi
(nilai/value). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia
untuk melakukan pelbagai pertimbangan mengenai apa yang dinilai dan apa yang
seharusnya dinilai. Nilai dalam pengertian ini adalah suatu penilaian yang
dilakukan oleh ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya. Penilaian dapat muncul dari
orang lain, lembaga pendidikan, agama, dan juga dari dalam diri ilmuwan sendiri
terhadap apa yang telah dihasilkannya. Bebas nilaikah atau tidak bebas nilaikah
kegiatan ilmiah yang telah dihasilkan seorang ilmuwan?
Selama ia masih berada dalam ruang
kerja ilmiahnya (seperti laboratorium), maka ia masih merasakan adanya bebas
nilai. Ia tetap dapat memusatkan perhatian pada kegiatan ilmiahnya tanpa
memperoleh halangan dari berbagai unsur luar. Namun, apabila telah keluar dari
ruang kerja ilmiahnya kedalam masyarakat, maka hasil kerjanya berupa ilmu dan
teknologi akan diuji oleh pandangan-pandangan masyarakat, lembaga, atau pun
agama. Hasil kerjanya diuji apakah telah sesuai dengan peraturan pemerintah,
norma adat, dan sebagainya. Ilmuwan dengan hasil karya ilmiah menjadi tidak
bebas nilai.
Sebagai contoh menarikadalah masalah
kloning terhadap manusia. Ketika ilmuwan berada dalam ruang kerjanya, ia
mungkin mampu bekerja secara idealis tanpa sesuatu nilai pun yang akan
mengaturnya. Akan tetapi, apabila hasil kerjanya disosialisasikan, maka akan
terjadi kegemparan. Akan terjadi pro dan kontra. Hasil kerja ilmiah tersebut
akan berhadapan banyak nilai yang ada dalam masyarakat. Kloning manusia akan
dipandang sebagai kegiatan yang bukan saja mengarah kepada dekadensi moral,
namun juga dehumanisasi.
Pada masalah seperti di atas, maka
peranan ilmuwan menjadi sesuatu yang imperatif. Dialah yang mempunyai latar
belakang pengetahuan yang cukup untuk dapat menempatkan masalah tersebut pada
proporsi yang sebenarnya. Oleh sebab itu, dia mempunyai kewajiban untuk
menyampaikan hal itu kepada masyarakat banyak dalam bahasa yang dapat mereka
cerna. Menghadapi masalah yang kurang mereka mengerti biasanya masyarakat
bersikap ekstrim. Pada satu pihak mereka bisu karena ketidaktahuan mereka,
sedangkan di pihak lain mereka bersikap radikal dan irasional. Tanggung jawab
seorang ilmuwan dalam hal ini adalah memberikan perspektif yang benar: untung
dan ruginya, baik dan buruknya; sehingga penyelesaian yang objektif dapat
dimungkinkan (Suriasumantri, 1998: 239-241).
Pada bidang lain mungkin terjadi
bahwa masalah itu baru akan timbul yang disebabkan proses yang sekarang sedang
berjalan. Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki kemampuan untuk
meramalkan apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan terjadi
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi kita di masa depan berdasarkan proses
pendidikan keilmuan sekarang. Apakah sistem pendidikan kita memungkinkan negara
kita mengejar keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di masa
yang akan datang? Sekiranya tidak maka apakah yang harus kita lakukan? Kerugian
apakah yang akan timbul sekiranya tindakan pencegahan tidak
dilakukan? Demikianlah pertanyaan yang
serupa dapat dikemukakan dalam berbagai bidang.
Kemampuan analisis seorang ilmuwan
mungkin pula menemukan alternatif dari objek permasalah yang sedang menjadi
pusat perhatian. Kemampuan analisis seorang ilmuwan dapat dipergunakan untuk mengubah
kegiatan non-produktif menjadi kegiatan produktif yang bermanfaat bagi
masyarakat banyak (Suriasumantri, 1998: 241).
Penelitian Penerapan di masyarakat
Nilai-nilai: adat istiadat, agama, ideolgi Hasil penelitian Tidak bebas nilai
Hasil Bebas nilai Teoritis penelitianSingkatnya, dengan kemampuan
pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini
masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal
ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat ilmuwan yang elitis, dia harus
berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu maka dia
bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga
integritas kepribadiannya.
Sebuah kutipan menarik dalam buku
Pengantar Filsafat karya Louis O Kattsoff. Dalam bahasa analogis, Kattsof
(2004: 3) menjelaskan bahwa meskipun filsafat ‘tidak membuat roti’, namun
filsafat dapat menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya,
menambah jumlah bumbunya secara layak, dan mengangkat roti itu dari tungkunya
pada waktu yang tepat. Filsafat berperan untuk mengumpulkan pengetahuan manusia
sebanyak mungkin, dan menerbitkan serta mengatur semua itu di dalam bentuk yang
sistematis. Filsafat membawa manusia kepada pemahaman, dan pemahaman membawa
manusia kepada tindakan yang lebih layak.
Suatu kenyataan bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi telah banyak berjasa untuk membantu manusia dalam
kehidupan kesehariannya. Akan tetapi, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat
diabaikan begitusaja pula adanya pengaruh negatif dari keduanya berupa
menurunnya atau bahkan nilai-nilai moral.
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan
dan teknologi juga berpengaruh negatif pada terjadinya dekadensi moral.
Pengaruh negatif yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
tidak seharusnya membuat manusia pesimis bahkan menyerah terhadap perkembangan
tersebut. Manusia tidak seharusnya hanya mengekor kepada ilmu pengetahuan dan
teknologi dan menjadi budak
keduanya. Ilmu pengetahuan dan
teknologilah yang seharusnya berada di tangan manusia atau berada di bawah
kendali manusia. Kemampuan berpikir dan berimajinasi manusia dalam wujud ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak dapat dihentikan, dibendung, atau dimatikan,
namun barangkali dapat dikontrol agar tidak kebablasan. Manusia harus
bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya. Tanggung jawab bukan
saja dalam arti normatif, namun juga dalam arti kedudukan manusia itu di antara
manusia-manusia lain. Berbicara mengenai tanggung jawab secara tidak langsung
berbicara mengenai manusia yang mempraktikkannya, menerapkan, dan menggunakan
ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Jari telunjuk kita dengan mudah menunjuk
kepada oknum yang terkait langsung dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, yakni para ilmuwan. Para ilmuwan memang memiliki tanggung
jawab etis untuk mengarahkan agar perjalanan ilmu pengetahuan dan teknologi
tetap pada ‘orbitnya’. Mereka harus berusaha untuk menemukan suatu orientasi
hidup yang dapat memberikan arah dan pegangan bagi perbuatan serta perilaku dirinya
pribadi dan masyarakat kebanyakan.
Daftar Pustaka.
Bintarto, R.1994. Ekologi Manusia IL-614: Hand Out
Kuliah Ekologi Manusia untuk S2 Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Programme
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Budianto, Irmayanti M 2002. Realitas dan Objektivitas:
Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Gensler, Harry J 1998. Ethics: A Contemporary
Introduction. London and NewYork.
, Abbas dan Koento Wibisono. 1986. “Peran
Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan
Budaya. Slamet Sutrisno (ed.). Yogyakarta: Liberty.
Kattsof, Louis O 2004. Elements of Philosophy atau
Pengantar Filsafat, Soejono Soemargono (penerjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya.
Suriasumantri, Jujun S 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik dan Asketik
Ilmu Pengetahuan Manusia: Kajian Filsafat Ilmu. Yogyakarta: LESFI
[1] Abbas Hamami
dan Koento Wibisono. 1986. “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam
Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya. Slamet Sutrisno (ed.). Yogyakarta:
Liberty.halm. 123-124
[2] Bintarto,
R.1994. Ekologi Manusia
IL-614: Hand Out Kuliah Ekologi Manusia untuk S2 Ilmu Lingkungan. Yogyakarta:
Programme Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.Hlm. 39
[3] Irmayanti M
Budianto, 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas
Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.halm. 15-16.
[4] Abbas Hamami
dan Koento Wibisono. 1986. “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam
Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya. Slamet Sutrisno (ed.). Yogyakarta:
Liberty.halm. 127
[5] Jujun
Suriasumantri, S 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 229-231
[7] Jujun
Suriasumantri, S 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 231-232
[8] Bintarto, R
1994. Ekologi Manusia IL-614: Hand Out Kuliah Ekologi Manusia untuk S2 Ilmu
Lingkungan. Yogyakarta: Programme Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.hlm. 40
Manusia: Kajian Filsafat Ilmu. Yogyakarta: LESFI.hlm. 49-50
[11] Jujun S
Suriasumantri, 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.hlm. 239
http://khin791.blogspot.co.id/2014/02/pengaruh-pemikiran-filsafat-terhadap.html
Diakses 11 desember
2016 pukul 08.09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar