Metafisika : Hakikat Realitas. Di alam semesta dapat
kita temukan berbagai hal, seperti batu, air, tumbuhan, khewan, manusia,
gunung, lautan, speda motor, buku, kursi, tata surya, dsb. Selain itu, kita
juga mengenal apa yang disebut jiwa, spirit, ide, dsb. Segala hal yang
ada di alam semesta itu disebut realitas (reality) . Sesuai dengan sifat
berpikirnya yang radikal, para filsuf mempertanyakan apakah sesungguhnya
(hakikat) realitas itu? Jawaban mereka berbeda-beda sesuai dengan titik tolak
berpikir, cara berpikir dan tafsirnya masing-masing.
Menurut para filsuf Idealisme, hakikat
realitas bersifat spiritual daripada bersifat fisik, atau bersifat mental
daripada bersifat material. Hal ini sebagaimana dikemukakan Plato, bahwa
dunia yang kita lihat, kita sentuh dan kita alami melalui indera bukanlah dunia
yang sesungguhnya, melainkan suatu dunia bayangan (a copy world); dunia
yang sesungguhnya adalah dunia idea-idea (the world of “ideas”). Karena itu
Plato disebut sebagai seorang Idealist (S.E. Frost Jr., 1957).
Menurut penganut Idealisme, realitas diturunkan dari
suatu substansi fundamental, yaitu pikiran/spirit/roh. Benda-benda yang
bersifat material yang tampak nyata, sesungguhnya diturunkan dari
pikiran/jiwa/roh . Contoh: Kursi yang sesungguhnya bukanlah bersifat material,
sekalipun Anda menemukan kursi yang tampak bersifat material, namun
hakikat kursi adalah spiritual/ideal, yaitu ide tentang kursi. Pada
tingkat universal (alam semesta), pikiran-pikiran yang terbatas hidup
dalam suatu dunia yang bertujuan yang dihasilkan oleh suatu pikiran yang
tak terbatas atau yang Absolut. Seluruh alam semesta diciptakan oleh suatu
pikiran atau roh yang tak terbatas. Karena itu, segala sesuatu dan kita
(manusia) merupakan bagian kecil dari pikiran atau roh yang tak terbatas
(Callahan and Clark, 1983). Pandangan metafisika Idealisme diekspresikan
Parmenides dengan kalimat: “What cannot be thought cannot be real”/ Apa yang
tidak dapat dipikirkan tidaklah nyata. Schoupenhauer mengekspresikannya dengan
pernyataan “The world is my idea” / Dunia adalah ideku (G.F. Kneller,
1971). Sebab itu, keberadaan (eksistensi) sesuatu tergantung kepada
pikiran/jiwa/spirit/roh.
Hakikat Manusia. Sejalan dengan gagasan di atas,
menurut para filsuf Idealisme bahwa manusia hakikatnya bersifat
spiritual atau kejiwaan. Pribadi manusia digambarkan dengan
kemampuan kejiwaannya (seperti: kemampuan berpikir, kemampuan memilih, dsb).
Manusia hidup dalam dunia dengan suatu aturan moral yang jelas-yang diturunkan
dari yang Absolut. Karena manusia merupakan bagian dari alam semesta yang
bertujuan, maka manusia pun merupakan makhluk yang cerdas dan bertujuan. Selain
itu, karena “pikiran manusia diberkahi kemampuan rasional, maka ia
mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan, ia adalah makhluk yang bebas”
(Edward J. Power, 1982).
Hakikat manusia bersifat spiritual atau kejiwaan. Berkenaan dengan ini setiap
manusia memiliki bakat kemampuannya masing-masing yang mengimplikasikan
status atau kedudukan dan peranannya di dalam masyarakat/negara. Kita ambil
contoh dari teori Plato tentang tiga bagian jiwa (Plato’s tripartite theory of
the soul) : Menurut Plato, setiap manusia memiliki tiga bagian jiwa,
yaitu: nous (akal, fikiran) yang merupakan bagian rasional, thumos
(semangat atau keberanian), dan epithumia (keinginan, kebutuhan atau
nafsu). Pada setiap orang, dari ketiga bagian jiwa tersebut akan muncul
salah satunya yang dominan. Sehingga: pertama, ada orang yang dominan bakat kemampuan
berpikirnya; kedua, ada yang dominan keberaniannya, dan ketiga ada
yang dominan keinginan/nafsunya. Atas dasar ini, Plato mengklasifikasi manusia
di dalam negara berdasarkan bakat kemampuannya tersebut, yaitu: pertama, kelas
counselors (kelas penasihat atau pembimbing / pemimpin), yaitu para cendekiawan
atau para filsuf; kedua, kelas the state-assistants / guardians (kelas
pembantu/penjaga) yaitu kelompok militer; dan ketiga, kelas money makers (kelas
karya/penghasil) yaitu para petani, pengusaha, industrialis, dsb. Namun
demikian klasifikasi manusia tersebut bukanlah kasta yang secara turun temurun
tidak dapat berubah. Apabila seseorang dari kelas tertentu - misalnya: dari
kelas karya - ternyata memiliki bakat yang sesuai dengan bakat dalam kelas
penjaga atau pembimbing, maka ia harus segera pindah ke kelas yang sesuai
dengan bakatnya itu, demikian pula sebaliknya. Selain itu, Plato menghubungkan
ketiga bagian jiwa manusia dengan empat kebajikan pokok (cardinal virtues)
sebagai moralitas jiwa (soul’s morality) , yaitu: kebijaksanaan/kearifan,
keperkasaan, pengendalian diri, dan keadilan. Pikiran/akal dihubungkan dengan
kebijaksanaan/kearifan yang harus menjadi moralitas jiwa kelas counselor/
pembimbing/ pemimpin; keberanian dihubungkan dengan keperkasaan yang harus
menjadi moralitas jiwa kelas militer / penjaga (guardians) , nafsu dihubungkan
dengan pengendalian diri yang harus menjadi moralitas jiwa kelas
karya/penghasil.Adapun keadilan harus menjadi moralitas jiwa semua orang dari
kelas manapun agar keselarasan dan kesimbangan tetap terpelihara dengan
baik.
Berdasarkan uraian di atas dapat Anda simpulkan bahwa
hakikat manusia bukanlah badannya, melainkan jiwa/spiritnya, manusia adalah
makhluk berpikir, mampu memilih atau bebas, hidup dengan suatu aturan moral
yang jelas dan bertujuan. Tugas dan tujuan hidup manusia adalah hidup sesuai
dengan bakatnya serta nilai dan norma moral yang diturunkan oleh Yang
Absolut.
Epistemologi: Hakikat Pengetahuan. Proses mengetahui
terjadi dalam pikiran, manusia memperoleh pengetahuan melalui
berpikir. Di samping itu, manusia dapat pula memperoleh pengetahuan
melalui intuisi. Bahkan beberapa filsuf Idealisme percaya bahwa
pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat kembali (semua pengetahuan adalah
sesuatu yang diingat kembali). Plato adalah salah seorang penganut pandangan
ini. Ia sampai pada kesimpulan tersebut berdasarkan asumsi bahwa spirit/jiwa
manusia bersifat abadi, yang mana pengetahuan sudah ada di dalam
spirit/jiwa sejak manusia dilahirkan.
Bagi penganut Idealisme Objective seperti Plato,
ide-ide merupakan esensi yang keberadaannya bebas dari pendriaan. Sedangkan
bagi penganut Idealisme Subjective seperti George
Barkeley, bahwa manusia hanya dapat mengetahui dengan apa yang ia
persepsi. Karena itu, pengetahuan manusia hanyalah merupakan keadaan dari
pikirannya atau idenya. Adapun setiap rangsangan yang diterima oleh
pikiran hakikatnya diturunkan atau bersumber dari
Tuhan, Tuhan adalah Spirit Yang Tak Terbatas (Callahan and Clark,
1983).
Sehubungan
dengan hal di atas, kebenaran (pengetahuan yang benar) hanya mungkin didapat
oleh orang-orang tertentu yang memiliki pikiran yang baik saja, sedangkan
kebanyakan orang hanya sampai pada tingkat pendapat” (Edward J. Power,
1982).
Adapun uji kebenaran pengetahuan dilakukan melalui uji
konsistensi atau koherensi dari ide-idenya. Sebab itu teori uji keberanannya
dikenal sebagai Teori Konsistensi/Teori Koherensi. Contoh: “Semua makhluk
bersifat fana (dapat rusak atau mati), Iqbal adalah makhluk, sebab itu Iqbal
akan mati”. Pengetahuan ini adalah benar, sebab ide-idenya koheren atau
konsisten. “Jalan merupakan urat nadi perekonomian masyarakat, Amin bunuh diri
dengan jalan memutuskan urat nadinya, karena itu Amin telah membunuh
jalannya perekonomian masyarakat”. Pengetahuan ini adalah salah, sebab
ide-idenya tidak konsisten/tidak koheren.
Aksiologi: Hakikat Nilai . Para filsuf Idealisme
sepakat bahwa nilai-nilai bersifat abadi. Menurut penganut Idealisme
Theistik nilai-nilai abadi berada pada Tuhan. Baik dan jahat, indah dan jelek
diketahui setingkat dengan ide baik dan ide indah konsisten dengan baik dan
indah yang absolut dalam Tuhan. Penganut Idealisme Pantheistik
mengidentikan Tuhan dengan alam. Nilai-nilai adalah absolut dan tidak berubah
(abadi), sebab nilai-nilai merupakan bagian dari aturan-aturan yang sudah
ditentukan alam (Callahan and Clark, 1983). Sebab itu dapat Anda simpulkan
bahwa manusia diperintah oleh nilai-nilai moral imperatif dan abadi yang
bersumber dari Realitas yang Absolut.
Diakses pukul 10.25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar