Kamis, 08 Desember 2016

Filsafat Pendidikan Idealisme


Metafisika : Hakikat Realitas. Di alam semesta dapat kita temukan berbagai hal, seperti batu, air, tumbuhan, khewan, manusia, gunung, lautan, speda motor, buku, kursi, tata surya, dsb. Selain itu, kita juga mengenal apa yang disebut jiwa, spirit,  ide, dsb. Segala hal yang ada di alam semesta itu disebut realitas (reality) . Sesuai dengan sifat berpikirnya yang radikal, para filsuf mempertanyakan apakah sesungguhnya (hakikat) realitas itu? Jawaban mereka berbeda-beda sesuai dengan titik tolak berpikir, cara berpikir dan tafsirnya masing-masing.  
Menurut para filsuf Idealisme,  hakikat realitas  bersifat spiritual daripada bersifat fisik, atau bersifat mental daripada bersifat  material. Hal ini sebagaimana dikemukakan Plato, bahwa dunia yang kita lihat, kita sentuh dan kita alami melalui indera bukanlah dunia yang sesungguhnya, melainkan suatu dunia bayangan (a copy world);  dunia yang sesungguhnya adalah dunia idea-idea (the world of “ideas”). Karena itu Plato disebut sebagai seorang Idealist (S.E. Frost Jr., 1957).  

Menurut penganut Idealisme, realitas diturunkan dari suatu substansi fundamental, yaitu pikiran/spirit/roh. Benda-benda yang bersifat material yang tampak nyata, sesungguhnya diturunkan dari pikiran/jiwa/roh . Contoh: Kursi yang sesungguhnya bukanlah bersifat material, sekalipun Anda menemukan kursi yang tampak bersifat material, namun  hakikat kursi adalah spiritual/ideal, yaitu ide tentang kursi.  Pada tingkat universal (alam semesta), pikiran-pikiran  yang terbatas hidup dalam suatu dunia yang bertujuan yang dihasilkan oleh suatu pikiran  yang tak terbatas atau yang Absolut. Seluruh alam semesta diciptakan oleh suatu pikiran atau roh yang tak terbatas. Karena itu,  segala sesuatu dan kita (manusia) merupakan bagian kecil dari pikiran atau roh yang tak terbatas (Callahan and Clark, 1983). Pandangan metafisika Idealisme  diekspresikan Parmenides dengan kalimat: “What cannot be thought cannot be real”/ Apa yang tidak dapat dipikirkan tidaklah nyata. Schoupenhauer mengekspresikannya dengan pernyataan  “The world is my idea” / Dunia adalah ideku (G.F. Kneller, 1971). Sebab itu, keberadaan (eksistensi)  sesuatu tergantung kepada pikiran/jiwa/spirit/roh.  
Hakikat Manusia. Sejalan dengan gagasan di atas, menurut para filsuf Idealisme  bahwa manusia hakikatnya  bersifat spiritual atau kejiwaan.  Pribadi manusia digambarkan  dengan kemampuan kejiwaannya (seperti: kemampuan berpikir, kemampuan memilih, dsb). Manusia hidup dalam dunia dengan suatu aturan moral yang jelas-yang diturunkan dari yang Absolut. Karena manusia merupakan bagian dari alam semesta  yang bertujuan, maka manusia pun merupakan makhluk yang cerdas dan bertujuan. Selain itu, karena “pikiran manusia diberkahi  kemampuan rasional, maka ia mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan, ia adalah makhluk yang bebas” (Edward J. Power, 1982).  
            Hakikat manusia bersifat spiritual atau kejiwaan. Berkenaan dengan ini setiap manusia  memiliki bakat kemampuannya masing-masing yang mengimplikasikan status atau kedudukan dan peranannya di dalam masyarakat/negara. Kita ambil contoh dari teori Plato tentang tiga bagian jiwa (Plato’s tripartite theory of the soul) : Menurut Plato, setiap manusia memiliki tiga bagian jiwa, yaitu:  nous (akal, fikiran) yang merupakan bagian rasional, thumos  (semangat atau keberanian), dan epithumia (keinginan, kebutuhan atau nafsu).  Pada setiap orang, dari ketiga bagian jiwa tersebut akan muncul salah satunya yang dominan. Sehingga: pertama, ada orang yang dominan bakat kemampuan berpikirnya; kedua, ada yang dominan keberaniannya,  dan ketiga ada  yang dominan keinginan/nafsunya. Atas dasar ini, Plato mengklasifikasi manusia di dalam negara berdasarkan bakat kemampuannya tersebut, yaitu: pertama, kelas counselors (kelas penasihat atau pembimbing / pemimpin), yaitu para cendekiawan atau para filsuf; kedua, kelas the state-assistants / guardians (kelas pembantu/penjaga) yaitu kelompok militer; dan ketiga, kelas money makers (kelas karya/penghasil) yaitu para petani, pengusaha, industrialis, dsb. Namun demikian klasifikasi manusia tersebut bukanlah kasta yang secara turun temurun tidak dapat berubah. Apabila seseorang dari kelas tertentu - misalnya: dari kelas karya - ternyata memiliki bakat yang sesuai dengan bakat dalam kelas penjaga atau pembimbing, maka ia harus segera pindah ke kelas yang sesuai dengan bakatnya itu, demikian pula sebaliknya. Selain itu, Plato menghubungkan ketiga bagian jiwa manusia dengan empat kebajikan pokok (cardinal virtues) sebagai moralitas jiwa (soul’s morality) , yaitu: kebijaksanaan/kearifan, keperkasaan, pengendalian diri, dan keadilan. Pikiran/akal dihubungkan dengan kebijaksanaan/kearifan yang harus menjadi  moralitas jiwa kelas counselor/ pembimbing/ pemimpin; keberanian dihubungkan dengan keperkasaan yang harus menjadi moralitas jiwa kelas militer / penjaga (guardians) , nafsu dihubungkan dengan pengendalian diri yang harus menjadi moralitas jiwa kelas karya/penghasil.Adapun keadilan harus menjadi moralitas jiwa semua orang dari kelas manapun agar keselarasan dan kesimbangan tetap terpelihara dengan baik. 
Berdasarkan uraian di atas dapat Anda simpulkan bahwa hakikat manusia bukanlah badannya, melainkan jiwa/spiritnya, manusia adalah makhluk berpikir, mampu memilih atau bebas, hidup dengan suatu aturan moral yang jelas dan bertujuan. Tugas dan tujuan hidup manusia adalah hidup sesuai dengan bakatnya serta nilai dan norma moral yang diturunkan oleh Yang Absolut.  
Epistemologi: Hakikat Pengetahuan. Proses mengetahui terjadi dalam pikiran, manusia memperoleh pengetahuan  melalui berpikir.  Di samping itu, manusia dapat pula memperoleh pengetahuan melalui  intuisi. Bahkan beberapa filsuf Idealisme percaya bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat kembali (semua pengetahuan adalah sesuatu yang diingat kembali). Plato adalah salah seorang penganut pandangan ini. Ia sampai pada kesimpulan tersebut berdasarkan asumsi bahwa spirit/jiwa manusia bersifat abadi, yang mana  pengetahuan sudah ada di dalam spirit/jiwa sejak manusia dilahirkan.   
Bagi penganut Idealisme Objective seperti Plato,  ide-ide merupakan esensi yang keberadaannya bebas dari pendriaan. Sedangkan bagi penganut Idealisme Subjective  seperti   George   Barkeley,  bahwa manusia hanya dapat mengetahui  dengan apa yang ia persepsi. Karena itu, pengetahuan manusia hanyalah merupakan keadaan dari pikirannya atau idenya. Adapun setiap rangsangan yang diterima oleh pikiran  hakikatnya diturunkan  atau  bersumber  dari  Tuhan, Tuhan adalah Spirit Yang Tak Terbatas (Callahan and Clark, 1983).  
Sehubungan dengan hal di atas, kebenaran (pengetahuan yang benar) hanya mungkin didapat oleh orang-orang tertentu yang memiliki pikiran yang baik saja, sedangkan kebanyakan orang hanya sampai pada tingkat pendapat” (Edward J. Power, 1982). 
Adapun uji kebenaran pengetahuan dilakukan melalui uji konsistensi atau koherensi dari ide-idenya. Sebab itu teori uji keberanannya dikenal sebagai Teori Konsistensi/Teori Koherensi. Contoh: “Semua makhluk bersifat fana (dapat rusak atau mati), Iqbal adalah makhluk, sebab itu Iqbal akan mati”. Pengetahuan ini adalah benar, sebab ide-idenya koheren atau konsisten. “Jalan merupakan urat nadi perekonomian masyarakat, Amin bunuh diri dengan jalan memutuskan urat nadinya, karena itu Amin  telah membunuh jalannya perekonomian masyarakat”. Pengetahuan  ini adalah salah, sebab ide-idenya tidak konsisten/tidak koheren. 
Aksiologi: Hakikat Nilai . Para filsuf Idealisme sepakat bahwa nilai-nilai bersifat  abadi. Menurut penganut Idealisme Theistik nilai-nilai abadi berada pada Tuhan. Baik dan jahat, indah dan jelek diketahui setingkat dengan ide baik dan ide indah konsisten dengan baik dan indah  yang absolut dalam Tuhan. Penganut Idealisme Pantheistik mengidentikan Tuhan dengan alam. Nilai-nilai adalah absolut dan tidak berubah (abadi), sebab nilai-nilai merupakan bagian dari aturan-aturan yang sudah ditentukan alam (Callahan and Clark, 1983). Sebab itu dapat Anda simpulkan bahwa manusia diperintah oleh nilai-nilai moral imperatif dan abadi yang bersumber dari Realitas yang Absolut.  




Diakses pukul 10.25


Tidak ada komentar:

Posting Komentar