Jumat, 02 Desember 2016

Benang merah kesalahan paradigma pendidikan yang dipakai di Indonesia saat ini

 Benang merah kesalahan paradigma pendidikan yang dipakai di Indonesia saat ini

 pertama: mempersiapkan anak didik yang “siap pakai”. Hal ini secara mendasar telah membentuk budaya Employye. Kita seharusnya mempersiapkan anak didik yang “siap memakai”. Kita sadar bahwa sebagai employye nasibnya ditentukan oleh orang lain, bukan menentukan nasib orang lain. Sasaran pendidikan dari paradigma SIAP PAKAI adalah keterampilan khusus seperti akuntan, hokum dan lainnya. Kemudian dengan kursus singkat yang diharapkan memimpin bebagai macam disiplin keilmuan, atau bermain diluar bidang keahliannya,. Kita lihat dampaknya sekarang, mismanajemen dalam birokrasi sebab tidak ada standar kompetensi sebagai Patoka untuk menjadi pimpinan.


Ini sejalan dengan penjelasan Bukhori Nasution, bahwa “untuk waktu yang mungkin tidak terlalu lama jepang bercita-cita agar di Negara tersebut tidak lag memiliki industri yang menghasilkan limbah berbahaya, semuanya akan di letakkan di luar jepang, dengan saham terbesar tetap dimiliki oleh jepang, dan mereka mempersiapkan anak bangsanya untuk menjadi pemikir atau bergerak dalam hal desain serta perdagangan, sedangkan pekerjaan dirty/kotor, dangerous/berbahaya pelaksanaannya serta difficult work akan diserahkan kepada orang lain di luar negaranya.” Dan ternyata China, Korea  dan Taiwan telah sejak awal menyadari serta mengikuti jejak jepang. ini indikasi bahwa mereka mempersiapkan anak bangsanya siap memakai dan siap mempekerjakan,

Kedua:Pemerintah dalam hal ini dianggap tdak pernah berbuat salah dan tidak boleh dianggap salah membuat keputusan merugikan rakyat seperti ujian dengan system multiple choices yang menyebabkan anak didik kurang mampu menganalisa, standar untuk lanjut pendidikan tergantung nilai NEM sehingga anak didik selalu mentok di ranah kognitifnya. Bukan itu saja, tapi konsep menghafal yang sudah menjadi konsep dasar pendidikan, learning by memorizing bukan dengan learning by doing sehingga menurut pakar pendidikan Bukhori Nasuiton, anak didik tidak mendapatkan haqqul yaqin.

Ketiga:Kekeliruan paradigma pendidikan kita yang lain adalah adanya standar Terdaftar, Diakui, Disamakan, yang ditentukan oleh pemerintah padahal terdapat sekolah swasta yang memiliki gedung yang lebih baik dari sekolah negeri namun sangat sulit mendapat status disamakan,sementara sekolah negeri dengan kondisi gedung yang memperihatinkan, langsung mendapatkan predikat disamakan. Selain itu, pendidikan harus mempergunakan buku paket hingga perpustakaan pun hanya di isi dengan buku paket akhirnya berdampak hilangnya budaya baca anak didik karena buku paket yang dibagikan sama dengan yang ada di perpustakaan.

Dan keempat: sistem pendidikan kita belum mampu mengakomodir perbedaan potensi dan kemampuan setiap individu anak bangsa ini. Seluruh kejanggalan yang sudah muncul di public maupun yang menunggu giliran menjadi indikasi bahwa tidak ada komitmen secara nasional untuk memperioritaskan pendidikan seperti di Jepang dan negara lain. Baru sejak tahun 2002 anggaran pedidikan mulai di naikkan untuk memenuhi amanat UU pendidikan nasional. Itupun masih menunggu optimalisasi pemerataan anggaran ke seluruh satuan pendidikan. Namun paling tidak, di masa mendatang, diharapkan kepada para pengambil kebijakan, guru dan stakeholder pendidikan lainnya seperti orang tua dan LSM, agar bisa fokus untuk memperbaiki kesalahan paradigma tentang pendidikan yang terjadi di negeri ini serta turunan masalahnya. agar nasib bangsa ini lebih baik dan bermartabat.

Sumber Diakses pada tanggal 02 Desember 2016 pukul 20.06 WIB

Oleh Mustaqim Mumtazz

http://www.tribunnews.com/tribunners/2012/05/06/kesalahan-paradigma-pendidikan-di-indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar