Siswa
SMA di negeri kita “diharuskan” menjadi manusia super yang menguasai seluruh
ilmu, baik sains, sosial dan juga bahasa. Ya, mereka memang mempelajarinya
namun tidak banyak yang bisa mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Hal ini
bisa dilihat dari lulusan SMA yang bisa dikatakan tidak memiliki kemampuan
untuk bekerja.
Kualitas pendidikan Indonesia
dianggap masih rendah oleh banyak kalangan. Hal ini bisa dilihat dari lulusan
dari sekolah dan perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja. Menurut
pengamat ekonomi, Dr. Berry Priyono, bekal kecapakapan yang diperoleh dari
lembaga pendidikan tidak memadai untuk digunakan secara mandiri. Sebab yang
dipelajari di lembaga pendidikan hanya terfokus pada teori sehingga
mengakibatkan peserta didik kurang kreatif dan inovatif. Indikator rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia ini diperparah dengan data dari Badan Pusat
Statistik yang menyebutkan penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja
berjumlah 111,28 juta penduduk dan 55,12 juta diantaranya adalah tamatan SD.
Artinya 50 persen pekerja Indonesia adalah tamatan pendidikan dasar
.
Jika dibangdingkan dengan
Negara ASEAN, Singapura memiliki presentase kelulusan terbanyak di secondary
sebanyak 24,6 persen dan lulusan pergurutan tinggi sebanyak 11,7 persen.
Berdasarkan QS World Universities Ranking, ranking perguruan tinggi negeri kita
juga kalah dengan Singapura, Malaysia dan Thailand. Kita berada di peringkat 50
Asia dan 217 Dunia. Kalah jauh dibanding Singapura yang memperoleh peringkat 3
(NUS) dan 58 (NTU). Di Asia tenggara perguruan tinggi kita kalah dengan
Singapura, Malaysia dan Thailand. Indonesia juga menurun poinnya tahun ini di
EDI (Education Development Index). Kemerosotan ini dipengaruhi oleh kualitas
dan paradigm pendidikan di negeri kita.
Rendahnya kualitas pendidikan
di Indonesia diperparah lagi dengan isu kecurangan Ujian Nasional yang selalu
diperbincangkan setiap tahun, sebab ini dapat menjadi tolak ukur jalannya
system pendidikan Indonesia yang masih jauh dari keempurnaan. Penugasan anggota
kepolisian guna memantau jalannya Ujian Nasional serta penggunaan kamera
pemantau untuk mengawasi jalannya UN di sekolah-sekolah menjadi hal yang justru
tidak pernah terjadi di negeri lain. Selain itu, Indonesia berada di urutan 12
se-Asia dibawah Vietnam dan Thailnad terkait kualitas system pendidikan yang
dikaitkan dengan daya saing tenaga kerja pada 12 negara di Asia. Hal ini
menunjukkan bahwa kualitas lulusan sarjana di negeri kita belum mampu di
letakkan secara sejajar dengan negara-negara lain bahkan dengan Vietnam
sekalipun. Kondisi ini menyebabkan bahwa ada ketidakpercayaan publik terhadap
system dan kualitas pendidikan di Indonesia serta paradigma yang keliru terhadap
pendidikan di negeri ini.
Pada tahun 1872, Jepang
menerbitkan Fundamental code of education dimana ditegaskan komitmen dari
masyarakat harus berpendidikan dan tidak boleh ada yang buta huruf. Pada tahu
1910 hampir seluruh anak muda Jepang sudah menyenyam pendidikan. Pada tahun
1913 mash banyak orang miskin, maka jepang kemudian menerbitkan lebih banyak
buku. Penerbitan yang ada di Eropa dan Amerika dalam waktu satu minggu sudah
harus ada di Jepang dan sudah diterjemahkan di Jepang untuk mempermudah masyarakat
mempelejari ilmu tadi serta hal ini berdampak pada kemajuan ekonomi dan
kesejahteraan social. Kita ingat pula ketika Jepang terkena bom atom,
pertanyaan kaisar jepang saat itu bukan berapa banyak warga yang menjadi
korban, tetapi berapa guru baik yang masih hidup.
Di Singapura, pemerintah
memberikan fasilitas setiap tahun kepada kepala sekolah untuk mengadakan studi
banding di luar negeri. Begitu laporan hasil diterima oleh menteri pendidikan
Singapura, hasilnya langsung diteruskan ke parlemen untuk mendapat tindak
lanjut. Malaysia pada awalnya meng-import guru-guru dari Indonesia karena
tarifnya masih reatif murah, tetapi mahasiswanya langsung dalam jumlah besar
melanjutkan ke luar negeri (Inggris dan USA) atas biaya negara. Pada waktu
perang dunia kedua di Inggris, Sir Winston Churchill menekankan parlemen untuk
menambah anggaran pendidikan negara tersebut. Selain itu kurikulum teknologi
yang dipakai di Inggris, sudah diberika di Grade 1 (usia 5 tahun) sampai Grade
10, sudah pula diajarkan pola fikir untuk menjadikan anak didik di Inggris
dapat mandiri/memiliki life skill sebagai dasar dari entrepreneur, sehingga
lulus SMU tak tergantung lagi pada orangtua.
Contoh lainnya adalah Selandia
Baru. Di negara ini memberlakukan sistem yang cukup menarik, siswa level SMA
hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib, yakni Matematika dan
Bahasa Inggris. Selebihnya adalah pelajaran pilihan yang disesuaikan dengan
cita-cita masing-masing. Bagi yang ingin menjadi dokter silahkan mengambil
pelajaran Kimia dan Biologi, bagi penyuka Fisika dan Kimia akan diarahkan
menjadi engineer, sedangkan pencinta ilmu ekonomi bisa mengambil Statistik dan
Akuntansi. Sedangkan Siswa SMA di negeri kita “diharuskan” menjadi manusia
super yang menguasai seluruh ilmu, baik sains, sosial dan juga bahasa. Ya,
mereka memang mempelajarinya namun tidak banyak yang bisa mengaplikasikan ilmu
yang telah didapat. Hal ini bisa dilihat dari lulusan SMA yang bisa dikatakan
tidak memiliki kemampuan untuk bekerja.
Sumber Diakses
pada tanggal 02 Desember 2016 pukul 20.06 WIB
Oleh Mustaqim Mumtazz
http://www.tribunnews.com/tribunners/2012/05/06/kesalahan-paradigma-pendidikan-di-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar