1.
Instrumemtalisme
Dewey
berpendapat bahwa berpikir sebagai alatuntuk memedcahkan masalah. Dengan
demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu murni yang secara langsung
berlaitan dengan kehidupan kongkret.
2.
Eksperimentalisme
Kita
menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan. Dengan demikan
maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan pedoman dalam
bertindak. Misalnya: suatu UU terus menurus diuji. Lantas, kapan masyarakat
bisa amenjadikan UU itu sebagai pedoman untuk bertindak? Pendek kata dalam
hidup bermasyarakat, kita memerlukan kebenaran yang ditetapkan, bukan
terus-menerus diuji.
3. Pendidikan
Dewey
menwkankan pendidikan formal berdasarkan minat anak-anak dan
pelajaran yang diberikan hendaknyadisesuaikan dengan minat anak-anak. Dengan
pandangan yang demikian maka pelajaran yang berlangsung di sekolah tidak
difokuskan karena minat setiap anak itu berbeda-beda. Demikian juga dengan
pelajaran-pelajarn pokok yang harus diajarkan kepada anak-anak tidak dapat
diterapkan dengan baik.
4. Moral
Penolakan
dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis kodrat manusia dan
sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view, membuat teorinya
jatuh pada masalah ”infinite regress” (tidak adanya pandangan yang secara logis
memberi pembenaran akhir bagi proses penalaran. Karena adanya final end yang
berlaku universal ditolak dan yang ada adalah serangklaian ends-in-view maka
pembenaran terhadap ends-in-view tidak pernah dilakukan secara
defenitif. Akibatnya tidak ada tolak ukur yang tegas untuk menilai tindakannitu
baik atau tidak.
F. Tinjauan
Kritis
Satu
hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat
bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis,
epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu
mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah
apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan
dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna
dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi. Dalam rangka
itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali
tidak menghendaki adanya diskusi, malainkan langsung mencari tindakan yang
tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah
manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam
pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha
memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit.
Karenanya,
teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk
membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang
tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya
berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis.
Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian
abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada
konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya.
Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang
dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme
mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan
prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme
mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi
pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita,
filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi
praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi
melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat.
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan
atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada,
mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga
keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Dalam
kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi
positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini
muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar
pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu.
Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap
perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang
berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Diakses
pukul 21.32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar